1. Pendahuluan
Upacara-upacara tradisional di Kalimantan Tengah
merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan dari Tattwa yang
merupakan inti dari pada ajaran agama Hindu Kaharingan (tradisi religi asli
masyarakat Dayak) dengan susila yang merupakan aturan-aturan yang patut
dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Unsur tattwa, etika dan upacara merupakan
unsur universal ajaran agama Hindu Kaharingan yang terkandung dalam setiap
ritual yang dilakukan oleh masyarakat Dayak, yang mana antara unsur yang satu
dengan yang lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu dan
simultan serta tidak terpisahkan.
Masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama
Hindu Kaharingan sangat kaya dengan upacara-upacara keagamaan antara lain
seperti tata cara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju yang disebut “Pelek
Rujin Pangawin. Ritual upacara perkawinan merupakan salah satu ritual
keagamaan sekaligus dianggap adat yang mencirikan keberadaan suku Dayak Ngaju
sebagai suatu kelompok masyarakat adat. Hal ini dikarenakan ritual perkawinan
ini tidak lagi hanya dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang beragama Hindu
Kaharingan saja, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak
lagi memeluk agama Hindu Kaharingan.
Sejak masuknya agama Kristen yang datang
bersamaan dengan penjajahan Belanda, banyak warga Dayak Ngaju yang awalnya
beragama Kaharingan dibaptis menjadi pemeluk agama Kristen. Sejalan
dengan itu, banyak tradisi dalam religi asli masyarakat Dayak mengalami
perubahan dan pergeseran karena diresapi pengaruh ajaran kristen. Pengaruh
migrasi penduduk, perkawinan silang, pergaulan lintas budaya dan masuknya
beberapa agama besar lainnya seperti Hindu dan Islam masuk juga mempengaruhi.
Namun tidak semua ajaran agama asli yang dapat terpengaruh oleh kedatangan
agama-agama baru tersebut. Salah satu tradisi religi Dayak yang terpengaruh
adalah pada tata cara perkawinan yang kemudian dianggap adat dan dapat
dilaksanakan oleh suku Dayak yang tidak lagi beragama Hindu Kaharingan dengan
meniadakan sebagian dari tata cara perkawinan yang keterkaitan dengan keyakinan
masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju yaitu upacara Manyaki Malas
Panganten (pengukuhan perkawinan).
Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat
Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu
kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari Hakumbang Auh
(peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta
persyaratan/Jalan Hadat dan perjanjian perkawinan), Mamanggul,
Mananggar Janji dan pelaksanaan Upacara Perkawinan, seperti Hasaki
Hapalas (pengukuhan/pemberkatan perkawinan menurut tata cara yang sudah
diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa
menurunkan ajaran-Nya melalui Raja Uju Hakanduang agar melaksanakan
ritual perkawinan bagi Raja Garing Hatungku dengan Kamelus Endas
Bulau Lisan Tingang serta pada perkawinan Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut dengan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, yang
mana kedua orang ini menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan merupakan
cikal bakal manusia pertama. Pertumbuhan dan perkembangan sosial masyarakat
Dayak Ngaju menuju tatanan kehidupan yang lebih maju dan modern membawa
sejumlah perubahan, termasuk masuknya agama-agama baru ke Kalimantan Tengah
yang mengakibatkan masyarakat Dayak beralih keyakinan ke agama-agama baru
tersebut dan meninggalkan keyakinan leluhurnya. Namun dalam kesehariannya
masih menjalankankan tradisi leluhurnya karena dianggap sebagai adat istiadat
yang harus dijalankan, salah satunya adalah tata cara upacara perkawinan. Dari
tata cara perkawinan yang ada kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah tata cara
perkawinan itu merupakan adat atau merupakan ajaran agama. Dimana dalam
pandangan masyarakat suku Dayak yang masih mempertahankan keyakinan leluhurnya
(beragama Hindu Kaharingan) tata cara perkawinan itu adalah ajaran agama bukan
adat, sedangkan menurut suku Dayak yang sudah tidak menganut Hindu Kaharingan
namun masih menjalankan tata cara perkawinan tersebut menyatakan bahwa itu
adalah adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhur suku Dayak Ngaju,
sehingga semua suku Dayak Ngaju boleh melaksanakan tata cara perkawinan
tersebut. Mengingat tata cara upacara perkawinan sebagai salah satu penuntun
moral dan pedoman etika bagi masyarakat etnik Dayak Ngaju, selain sudah
cenderung mengalami penyusutan fungsi dan maknanya dalam realitas sosial budaya
masyarakat Dayak, juga tidak menutup kemungkinan menuju ambang kepunahan, berbagai
upaya pelestarian perlu dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Salah satu
ancangan mikro untuk menunjang keberhasilan upaya pelestarian ini adalah
mengkaji secara khusus dan mendalam tata cara perkawinan tersebut dalam kajian
religi dan adat. Secara dasariah, pengkajian ini bertujuan untuk merekostruksi
pemahaman dan pemaknaan tentang tata cara upacara perkawinan dalam aspek adat
dan agama. Dengan pemahaman terhadap yang mana bagian tata cara perkawinan yang
dapat dianggap adat dan yang mana tata cara perkawinan yang merupakan religi,
diharapkan mereka dapat kembali pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan
nurani dan ketajaman hati sebagai suatu kelompok masyarakat yang berwatak
tenang dan cinta damai sesuai dengan konsep Belum Bahadat (hidup beradat)
dan Budaya Rumah Betang. Perkawinan disini disoroti sebagai upacara
peralihan dalam rangka agama asli masyarakat etnik Dayak Ngaju, meskipun
upacara itu sekarang didampingi unsur-unsur dari luar, tetapi tetapi dianggap
sebagai unsur utama dalam acara perayaan perkawinan.
B. Aspek Religi Dalam Upacara Perkawinan
Masyarakat Etnik Dayak Ngaju
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Pasal 1 mendefenisikan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.
Pernikahan disini dipahami sebagai persekutuan seluruh hidup, maka suami istri
mempunyai tanggung jawab untuk membina dan mengembangkan hidup bersama. Upacara
perkawinan merupakan salah satu bentuk upacara daur hidup dan akan tetap ada
pada setiap masyarakat, apalagi sebuah perkawinan bertujuan untuk membina
keluarga yang bahagia lahir batin.
Ritus perkawinan suku Dayak Ngaju bermula dari
tradisi lisan yang berakar dari religi Kaharingan yang awalnya disebut
dengan agama Helu. Dalam ajaran agama Hindu Kaharingan (Religi asli
masyarakat Etnik Dayak Ngaju) ritual perkawinan mempunyai nilai religius yang
berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu peningkatan nilai
bardasarkan hukum agama yang sakral. Menurut konsep Panaturan bahwa
perkawinan diharapkan dapat melahirkan keturunan/anak yang dapat menyelamatkan
orang tua dan leluhur. Seorang anak jugalah yang nantinya akan melaksanakan
upacara Tiwah bagi orang tuanya. Selain itu perkawinan menurut Hindu
Kaharingan berlangsung seumur hidup (Nyamah Hentang Tulang Ije
Sandung Mentang) dan tidak seorang pun yang boleh memutuskan tali
perkawinan itu kecuali kematian. Hal ini seperti yang dicontohkan pada
perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dengan Raja Garing
Hatungtu, dimana untuk mas kawinnya Nyai Endas Bulan Lisan Tingang
tidak meminta harta benda melainkan Banama Bulau Pahalendang Tanjung Ajung
Rabia Pahalingei Lunuk, yang tidak lain adalah berupa sebuah peti mati
yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati. Sehingga jika istri yang
terlebih dahulu meninggal, maka pada saat upacara Tiwah sang suami lah
yang akan menggendong tulang istriya atau sebaliknya. Demikian juga halnya
seperti yang dinyatakan dalam Kitab Atharvaveda X. 85. 36 tentang kesetiaan
yang harus dimiliki oleh sepasang suami istri sebagai berikut :
Grbhnami te saubhagatvaya
Hastam, maya patya jaradastir yathasah
Artinya :
“Wahai mempelai wanita, kami genggam tanganmu
bagi kemakmuran (kesuburan). Semoga engkau hidup bersama kami
sampai akhir kehidupan (akhir hayat). (Veda Sabda Suci, 1996:396)
Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat
Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu
kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari Hakumbang Auh
(peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta
persyaratan/Jalan Hadat (jujuran) dan perjanjian perkawinan) dan
Pelaksanaan Hasaki Hapalas (Pengukuhan/Pemberkatan Perkawinan menurut
tata cara yang sudah diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Unsur religi
utama yang terkandung dalam ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju khususnya
bagi yang beragama Hindu Kaharingan terdiri dari tiga bagian yaitu : Pelek
Sinde Uju, Pelek Handue Uju dan Pelek Hantelu Uju. Dimana Pelek
Sinde Uju bermakna bahwa perkawinan dilaksanakan dengan dilandasi
keyakinan terhadap Ranying Hatalla/Tuhan yang Maha Esa yang merapakan awal
segalanya. Dimana perkawinan akan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan Pelek
Indu Sangumang dan Bapa Sangumang. Pada Pelek Sinde Uju
inilah kedua mempelai mengucapkan Lima Sarahan (Pengakuan iman umat
Hindu kaharingan) serta sumpah janji dihadapan Ranying Hatalla untuk sehidup
semati, selalu bersama dalam suka dan duka Adapun Pelek Handue Uju
yaitu bahwa perkawinan dilaksanakan dengan melalui beberapa syarat yang lazim
dikenal dengan Jalan Hadat. Dimana Jalan Hadat
perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai
jujuran adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi pada upacara perkawinan yang
berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. Pembayaran jujuran dilakukan
oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pelek Hantelu Uju bahwa
perkawinan dilaksanakan dengan tujuan yakni terbentuknya suatu keluarga yang
bahagia dan sejahtera serta harmonis yang dilandasi sradha dan bhakti kepada
Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa. Sehingga proses perkawinan masyarakat Hindu
Kaharingan etnik Dayak Ngaju yang menjadi landasan pelaksanaannya adalah agama
atau kepercayaan. Seperti yang terdapat dalam Kitab Panaturan pasal 30
yaitu tentang perkawinan “Kameluh Endas Bulau Lisan Tingang Matuh kabaluma
Belum, pada ayat 26 sebagai berikut :
RANYING HATALLA, hemben te mameteh; lalus awi
ketun gawi akan Raja Garing Hatungtu, hete ketun mamelek Sinde Uju tuntang AKU
kereh atun hadurut manalih gawin te, awi ie hajanji taharep AKU
Artinya :
Pada saat itu RANYING HATALLA berfirman :
Laksanakan oleh kalian upacara itu (ritual perkawinan) untuk Raja Garing
Hatungku, disana kalian Mamelek Sinde Uju dan nanti AKU akan datang pada
upacara itu, karena mereka berdua berjanji dihadapanKu. (Panaturan, 2005 : 109)
Dengan memahami apa yang dijelaskan pada Panaturan
pasal 30 ayat 26 di atas, kita dapat mengetahui bahwa dasar pelaksanaan ritual
perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah ajaran suci
Ranying Hatalla yang termuat dalam Kitab Panaturan. Di Panaturan
dijelaskan bahwa pada intinya sumpah janji yang diucapkan oleh kedua mempelai
pada ritual perkawinan itu diiringi atau diberkati langsung oleh Ranying
Hatalla/Hyang Widhi Wasa
Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh umat
Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju tidak terlepas dari sarana upakara, termasuk
juga pada ritual perkawinannya. Sarana upakara ini sarat dengan simbol-simbol
yang mempunyai makna bagi yang melaksanakannya. Karena simbol-simbol tersebut
dipergunakan agar orang dapat memahami makna dibalik upacara itu. Simbol-simbol
tersebut mempunyai nilai religi/sakral yang suci.
Ditinjau dari pelaksanaannya, ritus
perkawinan dikalangan masyarakat etnik Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi empat
tahap yaitu :
- 1.
Hakumbang Auh
Hakumbang Auh adalah cara awal dari
ritus perkawinan dengan maksud penyampaian niat seorang pria kepada seorang
gadis yang diinginkan menjadi isterinya. Dalam kebiasaan masyarakat Hindu
Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda berkehendak mengambil seorang
gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan menyampaikan maksudnya
terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka selanjutnya orang
tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas menghubungi
keluarga si gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga
disebut Saruhan atau juga dapat disebut Tatean Tupai. Maksud
hati dan keinginannya disampaikan kepada keluarga si gadis melalui perantara
tersebut.
Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya,
maka pihak pria melalui Uluh Helat menyampaikan mangkok berisi beras
dan telor ayam yang dibungkus dengan kain kuning atau sejumlah uang sebagai Duit
Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan tersebut tidaklah
diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak pemuda
harus menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan
melalui perantara tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda
tersebut akan dibicarakan dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan
mangkok atau Duit Pangumbang yang mereka terima dari keluarga si
pemuda. Dalam rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis meminta pendapat
keluarga (paman, bibi, kakek, nenek dan saudara). Dalam rapat inilah
dibicarakan hal-hal penting mengenai :
- Setuju
atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda
tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka
pihak keluarga si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet,
bobot si pemuda dan bagimana silsilah keturunan si pemuda, apakah ada
keterikatan dengan keluarga si gadis.
- Waktu
pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak
keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.
Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda
ditolak, perantara akan dipanggil untuk memberitahukan mengenai keputusan
mereka dan alasan penolakan tersebut. Keputusan tersebut tentunya disampaikan
secara bijaksana agar tidak menyinggung perasaan pihak keluarga si pemuda.
Barang yang sudah diterima sebagai bukti Hakumbang Auh berupa mangkok
berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang akan dikembalikan kepada pihak
keluarga si pemuda melalui perantaranya. Apabila maksud baik si pemuda
diterima, maka perantaranya diberitahu bahwa pihak keluarga si gadis akan
menerima dengan senang hati kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk Mamanggul.
Mengenai kapan pihak keluarga si pemuda akan datang Mamanggul akan
disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya pula.
- 2.
Mamanggul
Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang
Auh yaitu cara meminta si gadis secara resmi setelah pihak keluarga si
pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima oleh pihak si gadis. Pada
acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa barang sebagai bukti kesungguhan
hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah Balanga (guci
asli cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu
pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang
berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan
berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah
kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat
dalam bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika
pihak keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak
dikembalikan kepada pihak si pemuda.
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh
dianggap sama dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara
perkawinan yang lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh
lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih
sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.
3. Maja Misek
Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek
berarti bertanya, istilah Maja Misek disini maksudnya adalah acara
pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si gadis. Dalam pertemuan
itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :
- Waktu atau
jadwal pelaksanaan pesta perkawinan
- Syarat-syarat
perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus
dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik
menurut Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam
keluarga si gadis.
- Besarnya Palaku
yaitu mas kawin yang harus diserahkan
- Biaya
pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung seluruhnya
oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.
- Sanksi
atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh
salah satu pihak.
Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang
kemudian dituangkan dalam surat perjanjian Pisek. Selain membicarakan
hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga dibicarakan mengenai
syarat-syarat menurut adat untuk kasus :
- Jika calon
mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum menikah,
maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada
kakaknya karena ia mendahului kakaknya.
- Jika si
gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam
garis kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari
si pemuda maka mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara Tambalik
Jela sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki
menyerahkan Paramun Pisek (persayatan adat dalam melamar), yaitu
benda-benda yang harus diberikan kepada pihak perempuan berdasarkan ketentuan
hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa perlengkapan pakaian
perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.
- 4.
Mananggar Janji atau Mukut
Rapin Tuak
Mananggar Janji berarti memastikan
janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi secara khusus untuk memastikan
kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja Misek telah
ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini
dibicarakan tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin
pria menyerahkan biaya perkawinan, antara lain :
a. Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)
b.Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung
atau Panginan Jandau
c. Jangkut Amak atau perlengkapan tidur
dan isi kamar tidur.
Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada
beberapa hal yang harus diperhitungkan dengan cermat agar mendapat hari dan
bulan yang baik dan sedapat mungkin menghindari adalah keadaan bulan seperti :
- Bulan
Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut
berarti pada saat permulaan bulan terbit atau bulan baru muncul.
- Bulan
Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh
- Bulan
Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan
- Bulan
Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)
Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka
pihak calon mempelai wanita dapat melakukan persiapan perkawinan, demikian juga
halnya dengan pihak mempelai pria.
- 5.
Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini
adalah upacara-upacara yang dilaksanakan sejak dari rumah penganten pria sampai
dengan peresmian perkawinan mereka di rumah penganten wanita. Pada tahap
pelaksanaan perkawinan ini upacara yang dilaksanakan adalah :
a. Panganten Haguet
Panganten Haguet adalah acara penganten
pria saat berangkat menuju rumah penganten wanita sesuai dengan kesepakatan
mengenai pelaksanaan perkawinan maka pada hari yang telah ditetapkan, biasanya
tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat, ataupun juga pelaksanaan
upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum
keberangkatan penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan. Pada saat
sebelum keberangkatan para kerabat berkumpul di rumah penganten pria. Tujuannya
untuk bersama-sama mengantarkan penganten pria ke rumah penganten wanita.
Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan acara syukuran. Waktu keberangkatan
yang paling baik menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju
adalah pagi hari atau sebelum jam dua belas siang.
b. Penganten
Mandai
Istilah Mandai sama dengan Manyakei
yang artinya naik. Arti penganten Mandai atau penganten Manyakei
disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten wanita. Ketika
penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :
1). Mambuka Lawang
Sakepeng
Lawang Sakepeng adalah semacam pintu
gerbang atau gapura dari pelepah daun kelapa yang diberi rintangan benang. Pada
rintangan benang penghalang dipasang bunga warna warni agar indah dan nampak
semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk ke halaman rumah
sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut. Caranya adalah dengan
memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang dipilih mewakili
masing-masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong. Ditampilkannya
pesilat dari keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam kehidupan rumah
tangganya, kedua mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan yang datang
sehingga dapat hidup rukun, saling membantu dan bekerjasama. Adapun makna dari
upacara mambuka Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan semua
rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua mempelai dalam membina rumah
tangga.
2) Mamapas
Mamapas adalah upacara pembersihan
secara simbolis bermakna agar penganten, rumah dan lingkungan tempat
dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari segala yang tidak baik dan
terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat yang
disebut Pali Endus Dahiang Baya. Bersamaan dengan upacara Mamapas ini,
setelah tali perintang Lawang Sakepeng putus maka penganten pria dan
rombongannya dipersilahkan memasuki halaman. Di depan pintu rumah mempelai pria
akan diupacarai lagi dengan taburan beras dan bunga rampai serta prosesi
penginjakan telor ayam. Selanjutnya mempelai laki-laki dan rombongan
dipersilahkan masuk rumah. Bagi mereka disediakan tempat khusus untuk
beristirahat sambil menunggu acara selanjutnya.
c. Haluang Hapelek
Upacara Haluang Hapelek adalah semacam
diaolog antara para wakil dari pihak penganten pria dan wanita. Tujuan utama
dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam
rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada
penganten wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai
utusan yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat
menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan. Luang
atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan Tukang Sambut,
yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan pihak penganten
wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu
pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya
mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.
d. Manyaki Panganten
(Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)
Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan
perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju. Pada bagian
inilah yang biasa tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju
yang non Hindu Kaharingan, namun masih melangsungan tata cara perkawinan sesuai
tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang Basir. Manyaki
berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai
oleh Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua
mempelai dipoles dengan darah. Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas
sebuah gong sambil memegang sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang
diikat bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak
bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda
bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang
Maha Esa. Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka
berdua juga bersaksi kepada penguasa alam bawah. Basir melakukan
upacara manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban, minyak
kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Beras Hambaruan
diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua
mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumahtangga mereka senantiasa
sehat, selamat dan memperoleh rejeki.
Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua
mempelai makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu
tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu
resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan secara simbolis, kedua
mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie
(pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk
membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka
akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.
Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama
membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang
diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai
dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli
waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris
dan disaksikan oleh hadirin.
Dengan selesainya penandatanganan surat
perjanjian kawin maka selesai pulalah rangkaian acara Manyaki Panganten.
Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman pohon Sawang. Acara
selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu kedua mempelai
(biasa diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua termasuk para
Luang, yang mana acara ini disebut dengan upacara Maningak
Panganten.
Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai
masih ada beberapa prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua
mempelai , yaitu :
- 1.
Maruah Pali
Maruah artinya menghapus atau
mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud
dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda
berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara
perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa
berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan
mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali
adalah :
- a.
Melakukan hubungan suami istri
b. Mengadakan perjalanan jauh
Setelah masa Pali habis, diadakan
upacara Maruah Pali bagi kedua penganten yaitu ditandai dengan
pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai ditampungtawari oleh kedua
orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke keluarga wanita.
- 2.
Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)
Upacara ini merupakan upacara menerima menantu
oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua
laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa
anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.
Pada upacara inilah orang tua suaminya
menyerahkan Batu Kaja yang merupakan bagian dari Jalan Hadat,
sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini hanya
disebutkan tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja
Manantu, maka selesailah rangkaian upacara yang terkait dengan perkawinan.
Urutan tata cara perkawinan yang lengkap seperti
di atas adalah tata cara perkawinan yang ideal yang semestinya dilaksanakan
oleh umat Hindu Kaharingan karena sudah merupakan ajaran suci Ranying Hatalla
yang terdapat dalam kitab suci Panaturan.
C. Upacara Perkawinan
Masyarakat Etnik Dayak Ngaju Dalam Kajian Adat
Ritual perkawinan masyarakat Dayak tidak hanya
mengandung nilai-nilai religi tetapi juga mengandung aspek budaya karena kedua
hal itu saling keterkaitan erat dan hampir tidak dapat kita bedakan dikarenakan
kultur masyarakat Dayak yang unik. Aspek budaya dalam ritual perkawinan ini
dapat kita lihat dari beberapa tahapan yang terdapat dalam prosesi perkawinan
masyarakat Dayak Ngaju seperti adanya proses Hakumbang Auh dan Maja
Misek (memupuh), dimana pada tahapan ini budaya musyawarah untuk
mufakat sangat kental terlihat selain itu menjadikan ikatan kekeluargaan
semakin erat. Kemudian pada saat hari perkawinan, sebelum mempelai laki-laki
memasuki rumah pihak perempuan adanya acara penyambutan berupa berbalas pantun,
tari-tarian serta pencak silat daerah Kalimantan Tengah untuk memutus halangan
yang berupa Pantan atau yang lazim dikenal oleh masyarakat Dayak
dengan nama Lawang Sakepeng Dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju
pelaksanaan upacara perkawinan tidak mudah dan tidak bisa secepatnya untuk
mengambil suatu keputusan, tetapi harus dimusyawarahakan oleh keluarga besar,
karena keluarga juga merupakan penentu dalam pengambilan keputusan. Semua yang
menyangkut tahapan dan persyaratan perkawinan akan disesuaikan dengan
aturan adat agar semua proses pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencana
keluarga. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Dayak Ngaju, adalah perkawinan
dengan sistem meminang karena mempunyai rangkaian yang sangat panjang.
Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit
pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika
kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut
agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan
yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat atau
kebiasaan. Selain itu jika kita melihat pemahaman masa lalu masyarakat Dayak
sebelum masuknya agama-agama ke tanah Dayak, maka kata adat dipahami
sebagai sebuah tradisi leluhurnya sebagai adat yang adi luhung sebagai penjaga
keharmonisan hidup yang harus dilaksanakan atau sebagai sebuah keyakinan.
Sehingga sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah
menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka
menganggap itu adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan atau dengan
bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini dapat kita lihat dalam tata cara upacara
perkawinan masyarakat Dayak yang telah beralih keyakinan ke agama Kristen,
kecuali yang menganut agama Islam, masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur
walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang
mereka anut. Dari kenyataan di lapangan kita bisa melihat batasan mana
pelaksanaan yang keterkaitan dengan ritus perkawinan suku Dayak Ngaju yang
bermula dari tradisi religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan
agama Helu dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang
dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh,mamanggul atau Maja
Misek ,pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten
Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng,
Mamapas serta Haluang Hapelek, yang merupakan acara menagih Jalan
Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan
oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita juga dilaksanakan yang
kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian
kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan
Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan
dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian
ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh
hadirin yang dilanjutkan dengan upacara Tampung Tawar (Pemercikan
air/tirta). Sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten
(Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai), yang merupakan inti
upacara perkawinan sebagai upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu
Kaharingan etnik Dayak Ngaju tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik
Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun pemberkatan atau pengukuhannya
dilaksanakan menurut tata cara agama yang dianutnya.
Prosesi makan makanan yang disebut Panginan
Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka
bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Yang dilanjutkan dengan
kedua mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie
(pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk
membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka
akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat. Yang
dilanjutkan dengan prosesi penanaman pohon Sawang (Ponjon Andong).
Beberapa urutan acara tersebut tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non
Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Selain itu prosesi pasca perkawinan yang harus
dilalui oleh kedua mempelai , seperti Maruah Pali juga tidak dilaksanakan.
Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali
berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali
adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi
kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani
masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama
tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka
lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
- Melakukan
hubungan suami istri
- Mengadakan
perjalanan jauh
Yang dilaksanaan hanya pada prosesi upacara Pakaja
Manantu. Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang
tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini
merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah
memiliki pasangan hidup.
Beberapa bagian yang dihilangkan tersebutlah yang
membedakan antara tata cara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang berasal dari
tradisi asli agama Helu atau Kaharingan yang dilaksanakan oleh umat Hindu
kaharingan dengan tata cara perkawinan yang dianggap adat yang dilaksanakan
oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak menganut agama Hindu Kaharingan lagi.
D. Penutup
Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini
terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau
agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya
adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu
tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan
sekedar adat atau kebiasaan. Namun sampai sekarang dalam praktek
kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap
menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan
leluhur masyarakat Dayak yang merupakan milik seluruh warga Dayak yang harus
dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini berlaku dalam
tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang beralih keyainan ke agama
Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, mereka masih melaksanakan sesuai
tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan
dengan agama yang mereka anut. Namun dari tata cara upacara perkawinan
yang berlangsung tersebut kita masih bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang
merupakan unsur religi yang keterkaitan agama Hindu Kaharingan dan dengan
yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu
tahapan Hakumbang Auh, Mamanggul atau Maja Misek , Pelaksanaan upcara
Perkawinan seperti : Panganten
Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta
Haluang Hapelek tetap dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan
dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian, sedangkan untuk
upacara Manyaki Panganten (Pengesahan perkawinan dalam Hindu
Kaharingan ) sampai penanaman pohon Sawang janji tidak
dilakukan oleh yang non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan
agama yang dianutnya.
Daftar Pustaka
Agan, Thian, 1998, Buku Upacara Perkawinan
Umat Hindu Kaharingan. Palangka Raya. Majelis Besar Agama Hindu kaharingan
Pusat Palangka Raya.
Ilon, Y. Nathan. 1990. Ilustrasi dan
Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang Sebuah Konsepsi
Memanusiakan Manusia Dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah.
Badan Kearsipan Daerah Kalimantan Tengah.
Riwut, Tjilik .2003, Maneser Panatau Tatu
Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Disunting oleh Nila Riwut. Yogyakarta,
Pusakalima.
Tim penyusun, 2003, Panaturan, Palangka
Raya, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya
Tim penyusun, 1974, Undang-Udang Perkawinan No.
II Tahun 1974.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman
Praktis Kehidupan. Paramita. Surabaya
Tim Penyusun. 1998. Ritus dan Peralatan
Perkawinan Pada Suku Dayak Ngaju Kalimanatan Tengah. Depdikbud Kanwil
Bagian Proyek Permuseuman Prop. Kalteng. Palangka Raya.