Rabu, 23 Oktober 2013

TABE SALAMAT LINGU NALATAI, SALAM SUJUD KARENDEM MALEMPANG"
"ADIL KA' TALINO, BACURAMIN KA' SARUGA, BASENGAT KA' JUBATA".

"MAMUT MENTENG UREH UTUSKU ISEN MULANG JETE PENYANGKU".
Sebuah tulisan yang kami sajikan dengan judul “Adat Mangkok Merah dan Pamabakng” adalah sebuah judul yang sengaja kami angkat dari permukaan, karena adat mangkok merah dan pamabakng telah di kenal oleh masyarakat luas diluar etnis Dayak terutama dalam gerakan meyeluruh masayarakat Dayak takala penumpasan gerakan Paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.
 Demikian pula adat Pamabakang yang cukup dikenal karena telah beberapa kali diberlakukan terutama dalam upaya perdamayan akibat kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan tragedy berdarah di markas Armet Nagabang beberapa tahun yang lalu. Walupun Adat ini sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat luas, namun adat ini perlu diangkat dalam suatu tulisan demi untuk persamaan presepsi tentang adat itu karena selama ini mungkin terdapat perbedaan presepsi dikalangan masayarakat luas bahkan dikalangan masayarakat Dayak sendiri.

Kedua jenis adat ini mempunyai keunikan tersendiri ibarat dua sisi yang bersebaranagan namaun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Mangkok Merah adalah adat yang bersifat sakral dan memaksa untuk mengarahkan masa demi tujuan tertentu sementara pamabakng adalah adat yang bersipat sakral yang harus dipatuhi dalam upaya perdamaian akibat adanya suatu komplik berdarah.

Dengan demikian selain bersebrangan dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat, kedua adat ini fungsinya seolah-olah bertentangan. Terlepas dari pendapat pro dan kontra secara esensi adat ini perlu dipertahankan dan di lesatarikan, namun apakah ia masih tetap dipertahankan dan dilestarikan, namun apakah ia masih tetap ditaati dan di patuhi terutama di era globalisasi yang serba moderen ini.


ADAT MANGKOK MERAH
Berdasarkan jenis alat peraganya, pada mulanya adat ini bernama mangkok jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwrana merah. Getah akar jaranang ini di pergunakan sebagai penganti warna cat merah karena pada waktu itu orang belum mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah ini dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam.

Oleh karena itu ia disebut mangkok merah. Pada jaman dahulu apabila dalam suatu kasus pihak pelaku tidak bersedia di selesaikan secara adat maka pihak ahli waris korban yang merasa dihina dan dilecehkan kehormatan, harkat dan martabatnya atas kesepakatan dan musyawarah ahli waris segera melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut adat mangkok merah. Kasus tersebut biasanya mangkuk menyangkut kasus parakng- bunuh ataupun kasus pelecehan seksual dan lain sebagainya yang sifatnya mengarah kepada pelecehan dan penghinaan terhadap ahli waris.  


Alat Peraga dan Maknanya
Alat paraga mangkok merah terdiri dari :

  • Sebuah mangkuk sebagi tempat/sarana untuk meletakkan alat paraga lainnya. 
  • Dasar mangkuk bagian dalam dioles dengan getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian “ Pertumpahan darah “.
  • Bulu/sayap ayam yang mengandung pengertian “ Cepat “, segera, kilat, seperti terbang”.
  • Tabur atap daun ( ujung atap yang terbuat dari daun rumbia) mengandung pengertian bahwa yang membawa berita itu tidak boleh terhambat oleh hujan karena ada terinak ( payung ).
  • Longkot api ( bara kayu api baker yang sudah di pakai untuk memasak di dapur ) yang mempunyai pengertian bahwa yang membawa berita tidak boleh terhambat oleh petang/gelap malam hari, karena sudah disedikan penerangan api colok dsb.
Alat para mangkok merah dikemas dalam mangkok yang telah diberi warna merah jaranang kemudian di bungkus dengan kain. Beberapa orang yang di tunjuk utnuk menyampaikan berita sekaligus mengajak seluruh jajaran ahli waris itu sebelumnya di berikan arahan mengenai maksud dan tujuan mangkok merah itu, siapa saja yang harus ditemui, kapan berkumpul, tempat berkumpul dan lain sebagainya. Tentu saja mereka yang membawa berita mangkok merah tersebut tidak boleh menginap bahkan singah terlalu lamapun tidak boleh. Walau hujan lebat dan petang gelap sekalipun mereka harus meneruskan perjalanannya.

Seperti yang diuraikan dalam pendahuluan, bahwa yang melatar belakangi terjadinya adat mangkok merah itu karena akibat adanya suatu yang tidak mau diselasaikan secara adat oleh pelakunya sehingga dianggap telah menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Damai kehormatan,harakat dan maratabat ahli waris sehingga mereka mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan ahli waris melalui adat mangkok merah. Misalnya seorang yang mati terbunuh apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat maka pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan suatu upaya pembelasan, karena perbuatan sipelaku di anggap telah menentang pihak ahli waris korban dan ia pantas dihajar sebagai binatang karena tidak beradat. Selanjutnya digelarlah adat mangkok mereah seperti yang telah di jelaskan di atas.

Sebagai mana di jelaskan di atas bahwa gerakan mangkok merah muncul untuk membela kehormatan, harkat dan martabat ahli waris yang telah dihina dan dilecehkan. Dengan demikian tentu saja gerakan ini menjadi tangung jawab ahli waris. Menurut masyarakat adat Dayak Kanayatn susunan/turunan page waris samdiatn itu dapat digambarkan menurut garis lurus yaitu : 
  1. Saudara Sekandung ( tatak pusat ) disebut samadiatn. 
  2. Sepupu satu kali ( sakadiritan ) di sebut kamar kapala. 
  3. Sepupu dua kali ( dua madi’ ene’ ) di sebut waris. 
  4. Sepupu tiga kali ( dua madi’ ene’ saket ) di sebut waris. 
  5. Sepupu empat kali ( saket ) di sebut waris. 
  6. Sepupu lima kali ( duduk dantar ) di sebut waris. 
  7. Sepupu enam kali ( dantar ) di sebut waris. 
  8. Sepupu tujuh kali ( dantar page ) di sebut waris. 
  9. Sepupu delepan kali ( page ) masih tergolong waris. 
  10. Sepupu sembilan kali, dah baurangan tidak tergolong waris.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang mulai disebut waris adalah pada turunan sepupu tiga kali atau dua madi’ene’, sehinga mereka yang termasuk dalam turunan ini di anggap sebagai kepala waris atau waris kuat. Merekalah yang berhak memimpin gerakan ini sifatnya mangkok mereah.

Sebagai mana telah di jelaskan dalam pendahuluan maka sifat-sifat yang terkandung didalam adat mengkok merah tersebut adalah :
  1. Seluruh acara pelaksanaan adat mangkok merah dari mulai bermusyawarah/mufakat hinga pemberangkatan bala, sarat prilaku-prilaku mistik relegius, oleh karena itu adat bersifat sakral. 
  2. Pihak ahli waris yang dituju atau yang menerima berita mengkok merah demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan ahli waris mereka harus ikut. Apabila mereka tidak ikut, mereka dapat dicap sebagai pengecut dan tidak menaruh rasa malu. Dengan demikaian mereka terpaksa harus ikut. Jadi dalam adat mangkok merah terdapat sifat mengikat atau memaksa.
Menelusuri proses pelaksanaan adat mangkok mereah, ternyata bahwa pelkasanan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah selauruh jajaran ahli waris korban di pimpin oleh ahli waris dua madi’ ene’ sebagai kepala waris. Sedangkan sasarannya adalah pihak pelaku yang tidak bersedia membayar hukuman adat senhinga di anggap telah melecahkan dan menghina pihak ahli waris korban. Apabila bala telah bernagkat menuju sasaran hampir tidak ada alternatif lain untuk pencegahan, kecuali dengan upaya adat dimana pihak pelaku harus memasang adat pamabang.

ADAT PAMABAKNG

Sebagai mana telah diuraikan diatas bahwa adat mangkok merah dan adat pamabang ibarat dua sisi yang berseberangan dan mengandung makna yang bertentangan namun keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat. Telah diuraikan pula pelaksanaan adat mangkok merah mempunyai dampak yang sangat negatif, akan tetapi sebagai alat ia sangat tergantung kepada pemakaiyannya. Dengan demikian ia dapat pula berdampak positif, misalnya penggunaan adat mangkok merah pada saat pemumpasan paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.

Alat Peraga
Sementara itu adat pamabankng mempunyai dampat yang sangat positip mengupayakan penyelasaian komplik sejarah damai. Bala yang akan menyerag setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera memeberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng, dengan alat paraganya sebagai berikut 
  • 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng banbu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup. 
  • Kemudian ada pelantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng ( tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah. 
  • 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tampayan jampa. 
  • Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar. 
  • Disekitar pamabang terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang. 
  • Tempayan jamba melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunauhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku. 
  • Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian. 
  • Beras banyu sebagai simbol perampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi. 
  • Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh temenggung dan jika temenggung tidak ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat orang yang menunggu pemabankng haruslah orang yang bijaksana dan biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sanga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain masksudnya agar saran serta naseihat dsb. Dapat dipakai oleh pihak bala yang sedang emosi.

Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabankng dapat di pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap dilangar, masih adalagi pamabnag lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabang terakhir inipun di langar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raganyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di tempat pamabang, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentakangkan arti dan makana pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu pihak bala melampisan emosinya dengan menikamkan senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah : 
  • Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan : 
  1. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris. 
  2. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat. 
  3. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang. 
  • Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan : 
  1. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat 
  2. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu dan selanjutnya dilakukan persembanhan kepada jubata. Pamabakng teteap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.


Tulisan ini pernah di posting Bapak Yohanes Supriyadi di http://www.akademidayak.com

Selasa, 22 Oktober 2013

LAPORAN PENELUSURAN SEJARAH PERJANJIAN DAMAI DAYAK DI DESA TUMBANG ANOI part 3


Tumbang Anoi menjadi tempat perdamaian sebelu abad 19 upaya-upaya perdamaian itu memang saudah mulai dilakukan oleh beberapa pihak. Rapat atau Pumpung di Tumbang Anoi memang di prakarsai oleh Belanda, dan dipilih desa tersebut mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah, sehingga para undangan dari segala daerah dapat dengan mudah datang. Nama-nama yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu tokoh-tokoh yang dipercayai oleh masyarakat, sebagaimana catatan Damang Pijar, kepala adat Kahayan Hulu, ialah sebagai berikut:
1.Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin
2.Kapten Christofel dari Kuala Kapuas
3.Letnan Arnold dari Kuala Kapuas
4.Raden Johannes Bangas dari Kuala Kapuas
5.Jaksa Sahabu dari Kuala Kapuas
6.Tamanggung Dese dari Kuala Kapuas
7.Juragan Tumbang dari Kuala Kapuas
8.Suta Nagara, Telang—sungai Mahakam (Kaltim)
9.Tamanggung Jaya Karti, Tamiang Layang
10.Tamanggung Sura, Buntok
11.Mangku Sari, Tumbang (Muara) Teweh
12.Tamanggung Surapati, Siang
13.Tamanggung Awan, Saripoi
14.Tamanggung Udan, Nyarung Uhing
15.Jaga Beruk, Tumbang Kunyi
16.Raden Sahidar, Tumbang Jelay
17.H. Bamin, Tumbang Jelay
18.Tamanggung Hadangan, Tumabang Likoi
19.Tamanggung Lenjung, Tumbang Lahei
20.H. Bahir, Tumbang Lahung
21.H. Halip, Tumbang Lahung
22.Bang Ijuk, Batu Salak—Sungai Mahakam (KalTim)
23.kimpoig Irang, Batu salak
24.Bang Lawing, Batu salak
25.Taman Lasak, Tumbang Pahangei
26.Juk Bang, Tumbang Pahangei
27.Juk Lai, Tumbang Pahangei
28.H. Burit, Samarinda
29.Taman Jejet, Long Iram
30.Taman Kuling, Kenyahulu
31.Hang Lasan, Tumbang Nawang
32.Barau Lulung, Tumbang Pahangei
33.Damang Ujang, Pujon—Sungai Kapuas (KalTeng)
34.Tamanggung Tukei, Tumabang Bukoi
35.Damang Suling, Tumbang Tihis
36.Damang Jungan, Tumaban Bukoi
37.Damang Pilip, Tumbang Rujak
38.Temanggung Tewung, Tumbang Sirat
39.Damang Antis, Taran
40.Jaga Ajun, Tumbang Tampang
41.Tamanggung Jahit, Danau Tarung
42.Tamanggung Tiung, Tumbang Tarang
43.Siang Irang, Bulau Ngandung
44.Raden Timbang, Tumbang Tihis
45.Damang Rahu, Tumbang Tihis
46.Damang Rambang, Pangkoh—sungai Kahayan (KalTim)
47.Singa Rawe, Petak Bahandang
48.Ngabeh Suka, Pahandut
49.Tamanggung lawak, Bukit Rawi
50.Jaga Kamis, Bawan
51.Damang Sawang, Pahawan
52.Tundan, Guha
53.Dambung Tahunjung, Sepang Simin
54.Dambung Turung, Tuyun
55.Jaga Saki, Luwuk Sungkai
56.Kiai Nusa, Tumbang Hakau
57.Singa Laju, Hurung Bunut
58.Singa Mantir, Teweng Pajangan
59.Raden Binti, Tampang
60.Mangku Tarung, Tampang
61.Tamanggung Tuwan, Kuala Kurun
62.Singa Raujan, Kuala Kurun
63.Ngabe Hanjung, Tumbang Manyangan
64.Damang Murai, Tewah
65.Dambung Nyaring, Tewah
66.Singa Mantir, Kasintu
67.Singa Antang, Batu Nyiwuh
68.Tamanggung Tawa, Tumbang Habaon
69.Tembak, Tumbang Hanbaon
70.Damang Sangkurun, Tumbang Sarangan
71.Damang Kacu, Datah Pacan
72.Dambung Odong, Tumbang Miri
73.Mangku Saman, Tumbang Marikoi
74.Singa Saing, Tumbang Marikoi
75.Bahau, Tumbang Marikoi
76.Singa Ringin, Tumbang Maraya
77.Mangku Rambung, Lawang Kanji
78.Akin, Lawang Kanji
79.Mangku Rambung, Tumbang Rambangun
80.Damang Batu, Tumbang Anoi
81.Dambung Karati, Tumbang Anoi
82.Dambung Sanduh, Lawang Dahorang
83.Singa Dohong, Tumbang Mahorai
84.Raden Pulang, Tumbang Mahorai
85.Dambung Saiman, Sungai Hurus, Sungai Hamputung
86.Singa Kating, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
87.Jaga Jalan, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
88.Tamanggung Paron, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
89.Damang Kawi, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
90.Tamanggung Pandung, Tumbang Musang, Sungai Miri
91.Damang Teweh, Tumbang Pikot, Sungai Miri
92.Damang Patak, Tumbang Hujanoi, Sungai Miri
93.Mangku Turung, Mangkuhung, Sungai Miri
94.Dambung Besin, Tumbang Manyei, Sungai Miri
95.Singa Tukan, Tumbang Masukih, Sungai Miri
96.Singa Dengen, Harueu, Sungai Miri
97.Damang Jinan, Tumbang Manyoi, Sungai Miri
98.Damang Singa Rangan, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan, dan Manuhing
99.Singa Ringka, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan dan Manuhing
100.Damang Bakal, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
101.Tamanggung Hening, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
102.Damang Anggen, Katingan—Sungai Katingan
103.Damang Sindi, Lahang, Sungai Katingan
104.Dambung Rahu, Talunei, Sungai Katingan
105.Damang Bundan, Tumbang Sanamang, Sungai Katingan
106.Raden Runjang, Tumbang Panei, Sungai Katingan
107.Dambung Panganen, Tumbang Panei, Sungai Katingan
108.Raden Tinggi, Balai Behe, Sungai Sanamang
109.Tamanggung Penyang, Tumbang Bemban, Sungai Sanamang
110.Tamanggung Rangka, Tumbang Sanamang, Sungai Sanamang
111.Tamanggung Tumbun, Rantau Pulut, Sungai Seruyan
112.Damang Jungan, Tumbang Kalanti, Sungai Kalang
113.Singa Antang Kalang, Tumbang Gagu, Sungai Kalang
114.Tamanggung Johan, Tumbang Manggu, sungai Samba
115.Damang Awat, Tumbang Basain, sungai Samba
116.Tamanggung Bahe, Rantau Tapang, Sungai Samba
117.Raden Maung, Tumbang Hangei, Sungai Samba
118.Tamanggung Luhing, Tumbang Atei, Sungai Samba
119.Condrohur, Tumbang Jinuh—(KalBar)
120.H. Mansyur, Tumbang Jinuh
121.Tamanggung Bungai, Tumbang Ela
122.Marta Jani, Nasa Jinuh
123.Kiai Saleh, Manukung
124.Raden Adong, Manukung
125.Raden Paku, Manukung
126.H.Mas Maruden, Sakasa
127.Raden Lang Laut, Sarawai—Sungai Sarawai (Kalimanan Utara)
128.Raden Bundung, Tuntama, Sungai Serawai
129.Raden-Singa Luwu, Malakan, Sungai Serawai
130.Raden Damang Bewe, Mantonai, Sungai Serawai
131.Tamanggung Singa Nagara, Tumbang Nyangai, Sungai Serawai
132.Tamanggung Mangan, Batu Saban, Sungai Serawai
133.Tamanggung Tingai, Punan Mandalan, Sungai Serawai
134.Tam Juhan, Tumbang karamei, Sungai Serawai
135.Tam Dulah, Tumbang Balimbing, Sungai Serawai
136.Tam Sarang, Mondai, Sungai Serawai
 
Sumber :
- Catatan dari almarhum Damang Nyaring yang dicatatnya dari almarhum Lahing Tabias, dan dicatat kembali oleh almarhum Pendeta A.R. Nyaring, desa Tampang, seorang cucu Damang Batu: Tentang riwayat Damang Batu, Beteng, dan Perdamaian.
 
- Catatan Yakup Sawung, S.H, 1972 : Tentang nama-nama peserta rapat perdamaian (catatan penyunting : sebagian tercantum dalam catatan yang diperoleh W.A.Gara)
 
- Catatan almarhum Damang A. Pijar, Tumbang Mahurai mengenai nama-nama peserta rapat damai.
 
- Damang Salilah, AGAMA KAHARINGAN : SUSUN GAWI TIWAH SAMPAI BALAKU UNTUNG, LBSB UNPAR, Palangkaraya, 1977, h.116-118
 
- Prof.Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. 1990
 
- Prof. KMA M. Usop, M.A, ADAT ISTIADAT DAERAH KALIMANTAN TENGAH, Universitas Palangkaraya, PNPKD DPK, 1977/1978
 
- Bahan-bahan yang dihimpun oleh Panitia Pemugaran Makam Damang Batu di desa Tumbang Anoi, kecamatan Kahayan Hulu Utara, Kabupaten Kapuas, 1989/1990

Sabtu, 25 Mei 2013

ANAK LUTING MAMPATEI KAMBE HAI



Tege anak hatue je inggare oloh “Anak Luting” awi biti berenge pandak tutu hanyak kurik ampie. Aluh umure jadi sadang kabujang tapi biti bereng kilau anak kurik tabela. Kinjap oloh sapantar dengae hababaka manawah ie awi kakurik bitie te.

Tege tinai anak hatue je inggare oloh “Tunggal Bakas, Tunggal Tabela tuntang Tunggal Busu” ewen telo hampahari. Ewen telo te hakula dengan Anak Luting. Hung sinde katika Anak Luting handak umba ewen telo te basatiar-bausaha akan parak kayu, handak manggau narai bewei hung parak kayu je tau akan injual, ihapan ewen, kilau kare gemur, garu, gitan nyatu tuntang nyating.

Metuh Anak Luting mander arepe handak umba basatiar akan himba, Tunggal Tabela tuntang Tunggal Busu handak dia nahuang mimbit ie, awi biti berenge je kurik. Kuan itung ewen mawi mampaderuh ih. “Kilen ampie ie ulih metun kare puat bahata, kare behas uyah, imbit arepe mahin baya-baya ih. Kanampie tinai amun kare dimpah sungei, tau mawi itah uyuh metun mumah ie ih” kuan ewen ndue.

Auh ewen ndue te tara hining Tunggal Bakas, palus ie hamauh dengan ewen ndue : “Ela itah manawah oloh, ela hamauh kilau te. Olon kalunen tege kalabihe tege katapase. Eweh katawa Anak Luting tuh tau mimbit rajaki akan itah. Nauh ih ie umba itah basatiar.” Ye, ewen ndue te benyem tuntang hakun mimbit Anak Luting umba basatiar akan parak kayu.

Hanyak tampalawei andau ewen epat biti te tulak manampa jalanae akan parak kayu. Tanjung janda-jandau akan bentuk himba kanih. Metuh andau lius kaput ewen epat sampai kea eka je kaharap tuntang kahimat ewen. Balalu ewen mampendeng ije puduk umbet akan ewen epat ih.

Pire-pire andau ewen mangumbang eka te manampayah eka kare nyatu, tuntang kare nyating je are melai hete.
Amon ewen sundau nyating te ewen palus mimbit akan puduk ewen, tuntang mangutat kare kayu hete akan tanda, uka jewu tinai ewen manangkaluli manduae.

Hung sinde katika ewen epat te pakat uka basatiar mangumbang himba te kabuat-kabuat. Anak Luting misik bagulung palus ie tulak hayak andau hanjewu magun buta-butat ih. Hung benteng jalan Anak Luting tarewen sabanen awi pasuru ije kungan bawui himba ‘talimpai” je hai tutu, metuh bawui te mandui ngalabangan. Bawui te buhau kea, tuntang Anak Luting buli akan puduk ewen epat. Ie dia manyarita panyundau akan ewen telu hampahari nah.

Hayak janjewu tinai Anak Luting harikas palus manekap sipet ayue ije imbite bara lewu. Sipte te pandak tutu baya ije tipeng penang ih, tuntang rombak sipet te kurik , ali-alis lawas talali ih, baya inguan bara tabalien batue. Damek jari sadia je puna baipu ulih mampatei bajang bawui.

Pas Anak Luting jari sampai eka kalabangan bawui male, ie palus manyelek rangka-rangkah. Pea kahureh puna bawui je male metuh mangalabangan. Narai tunggu entai kuan atei Anak Luting. Palus ie manyipet bawui talimpai te. “Pet!!” Takinyot paran bawui, awi damek te kurik haliai. Sama angat pepet piket ih. Bawui te dia tahu-tahu magun ngalabangan. Pit-pet auh sipet Anak Luting, sampai lepah isin damek, bawui magun dia gitan ampin kapehee. Tepa rise rahas ndai Anak Luting, ie harikas mendeng hayak mangkariak “kiiuuuyyyy!!!!” Bawui tarewen sabanen, palus balihang matei.

Hemben te kea Anak Luting manangkajuk manalih bawui talimpai je balihang te. Puna jari matei bawui te, balalu Anak Luting manyayat kadue pinding bawui te. Pinding bawui inyuang huang keba, palus ie buli akan puduk ewen.

Sana sampai puduk, Anak Luting palus mampeter arepe, awi haranan kagugup tuntang kahekae. Tunggal Bakas ewen hampahari Hengan manampayah ampin Anak Luting te. Te ewen telu misek narai buku sabab ie je kilau te. Tumbah ih Anak Luting “cuba ketun manampayah huang keba kau narai ampie hete”! kuan Anak Luting. Gulung kea Tunggal Busu manangkilik keba ayun Anak Luting. Ie tarewen, palus hamauh “Haw.. kilen tege kare pinding bawui melei keba tuh?” kuae. “Dinungku endau.” Kuan Anak Luting.

“Haw..! Matei belum bawuie?” Boh kanampie aku ulih manyayat pinding bawui amun belum.” Kuan Anak Luting. “Hung kueh hantun bawui te?" has itah manalihe.!!” Pisek ewen telu.

“Ayu... itah manduae.” Kuan Anak Luting, ie harikas awi berenge jari baringas.

Ye ewen epat sana sampai eka hantun bawui te, ewen metun hantun bawui je puna hai tutu, hanyak puna menyak.
Sana uras lepah taetun ragan bawui te, ewen balalu manampa pasah eka manyehei isin bawui te. Rajaki hai puna mampamangat belai ewen epat kuman isin enyak bawui je mangat tutu.

Tagal sehei isin enyak bawui je puna hiu-hiut tutu. Hakabuah riwut sampai urung “Kambe Hai barombak likute” Sampai hanti-hantis sinde iweh kambe hai barombak likut te. Narai taluh ati, kambe hai te hadari mangguang ewau je mangat tutuh nah. Metuh te Tunggal Bakas ewen telo pahari jari tulak basatiar tinai.

Sana sampai puduk ewen Anak Luting, Kambe Hai palus hamauh. “Oii… Anak Luting !! Lalehan kamangat papui enyak bawui tuh??!! Kuae. “Punae mangat tutu je arae sehei bawui menyak, puna hiu-hiut sinde. Bawui tuh dinin ikei male” Kuan Anak Luting tumbah.

Dia paramisi tuntang misek kakai je kambe hai te, ie palus lip-lap kuman sehei bawui te. Sana kambe hai te jari besuh, ie hamauh tinai dengan Anak Luting.

“Oii… Anak Luting ayu ikau muat akangku kare sehei tuh, namean huang likut ku, akan imbitku buli.!!” Kuan Kambe hai je barombak likute.

Ye, Anak Luting muhun bara puduk ewen, ie manukep kambe hai. Hung hete are kare tuyuk nyating je jari dinun ewen epat nah. Anak Luting manamean kare butub nyating akan rombak likut kambe hai. Kembe te dia manampayah gawin Anak Luting awi ie suntup hayak magun menta isin-enyak bawui. Sadang kakare butub nyating tame rumbak likut kambe hai te. Palus kambe hai hamauh. “Sukup..sukup!! sadang kare puat tuh, sadang ehate!!” Kuae. “Haw.. ela helu!” Kuan Anak Luting, “isut tinai”! Hayak kea Anak Luting maninjek apui, manutung nyating je melai likut kambe hai te.

Sana jari belum apui te, Anak Luting hamauh dengan Kambe Hai. “Has jari ndai!” Tulak ndai ikau!” Kuan Anak Luting.

Lasu-laut angat likut kambe hai te. Ie mandawa puna lasut sehei bawui nah. Sambil kumi marium ie hanjak buli akan ekae. Metuh hung jalan buli salenga dumah riwut kiba-kibar, mahimun baran nyating hung likute. Narai taluh ati palus habandam sinde apui hung likut kambe hai te. Ie tarewen : “Akuiii… dia je lasut sehei jetuh!! Puna gawin Anak Luting je marapus aku tuh!!’ Kuae parak hadari. Ie puna dia tau mampelep apui intu likute. Kambe Hai te hadari birip-barap, manantarang kare kayu-dereh, rink-rak, dim - dam sinde uras balihang.

Baya-baya nukep baun ekae melai, kambe hai te palus balihang matei, awi kalasut apui hung likute.

Metuh Tunggal Bakas ewen telo hampahari dumah bara bentuk himba, ewen tarewen manampayah kare sehei batisa isut ih. “Boh..! Kilen sehei bawui itah tuh je tisa isut, kueh kare nah, Anak Luting??” kuan ewen misek. “Endau dumah Kambe Hai barombak likut kuman sehei bawui tuh. Kuan tumbah Anak Luting.

“Buhen ikau dia mangahana ie.!?” kuan ewen sangit. “Nauh ih. Kanduen keton kea!! Ie mahin matei !” Kuan Anak Luting. “Haw.. matei kilen nah?” pisek ewen. ”Matei ie, awi tukan ku apui intu likute”! Has itah manyak kambe hai te.!” Kuan Anak Luting.

Ye, ewen epat manyak awan kambe hai je hadari nah. Mangat tutu manggau awi are kareh pelek kayu je nantarang kambe hai. Dia pire-pire kakejau palus sundau ewen hantun kambe hai te, tanga-tangai melai baun ije guha eka melai.

Ewen epat manangkilik rombak goha te, sakalinya are tutu olon kalunen je inawan masung awi kambe hai. Uras olon te ringkong-rihu awi katahin ewen inawan, ewen dia puji kuman. Ampie lague oloh je inawan te akan panginan kambe hai, amon ie balau, palus ie kuman olon kalunen je nawae te ije mije.

Oloh are je buah tawan imasung awi kambe hai te, nambawai balaku dohop dengan Anak Luting. Palus kea ewen epat mampalua oloh are te, parak mendeng-lungkang-lihang awi tahi dia kuman, ewen impalua bara ekae inawan.

Anak Luting ewen epat mimbit oloh are te bawi hatue je buah tawan, buli akan lewu. Pire-pire andau oloh je buah tawan kambe hai te, harue barigas kea limbah sukup kare panginan ewen impakan oloh lewu.

Limbah jari barigas tengah biti buli akan lewu humae, awang je mangun bingat. Awang je jari kalapean atawa dia kawan lewu humae ewen belum melai lewu te ih.

Oloh are manyewut tarima kasih dengan Anak Luting dengan Tunggal Bakas ewen telu hampahari. Kuan Tunggal Bakas dengan oloh are, “je patut mandinu sewut tarima kasih” iye te Anak Luting basa ia je mampatei Kambe Hai.”

Peteh Penyang :
1. Ela itah manampayah-manilai oloh awi potongan / penampilan luar bewei.
2. Ela itah manawah oloh beken. Basa kalunen tuh tege katapase, tege kalabiene.
3. Tuah Rajaki uras awi asin Hatalla.
4. Itah patut mandohop eweh bewei, aluh dia tundah-kulan itah.
5. Itah patut kea batarima kasih dengan oloh je jari mandohop tuntang manyalamat itah aluh ie te kurik atawa tabela bara itah.

Jumat, 24 Mei 2013

Yendra Rusan: LEGENDA GOSONG RANGAN MIHING di desa TUMBANG DANAU...

Yendra Rusan: LEGENDA GOSONG RANGAN MIHING di desa TUMBANG DANAU...: Diceritakan kembali Oleh : Yendra berdasarkan cerita tetua Kampung di Desa Tumbang Danau.dan berbagai sumber lainya.             ...

Yendra Rusan: LEGENDA GOSONG RANGAN MIHING di desa TUMBANG DANAU...

Yendra Rusan: LEGENDA GOSONG RANGAN MIHING di desa TUMBANG DANAU...: Diceritakan kembali Oleh : Yendra berdasarkan cerita tetua Kampung di Desa Tumbang Danau.dan berbagai sumber lainya.             ...

UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT SUKU DAYAK NGAJU DALAM KAJIAN AGAMA DAN ADAT



1.  Pendahuluan
Upacara-upacara tradisional di Kalimantan Tengah merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan dari Tattwa yang merupakan inti dari pada ajaran agama Hindu Kaharingan (tradisi religi asli masyarakat Dayak) dengan susila yang merupakan aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Unsur tattwa, etika dan upacara merupakan unsur universal ajaran agama Hindu Kaharingan yang terkandung dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Dayak, yang mana antara unsur yang satu dengan yang lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu dan simultan serta tidak terpisahkan.
Masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama Hindu Kaharingan sangat kaya dengan upacara-upacara keagamaan antara lain seperti tata cara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju yang disebut “Pelek Rujin Pangawin. Ritual upacara perkawinan merupakan salah satu ritual keagamaan sekaligus dianggap adat yang mencirikan keberadaan suku Dayak Ngaju sebagai suatu kelompok masyarakat adat. Hal ini dikarenakan ritual perkawinan ini tidak lagi hanya dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang beragama Hindu Kaharingan saja, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak lagi memeluk agama Hindu Kaharingan.
Sejak masuknya agama Kristen yang datang bersamaan dengan penjajahan Belanda, banyak warga Dayak Ngaju yang awalnya beragama Kaharingan dibaptis menjadi pemeluk agama Kristen. Sejalan dengan itu, banyak tradisi dalam religi asli masyarakat Dayak mengalami perubahan dan pergeseran karena diresapi pengaruh ajaran kristen. Pengaruh migrasi penduduk, perkawinan silang, pergaulan lintas budaya dan masuknya beberapa agama besar lainnya seperti Hindu dan Islam masuk juga mempengaruhi. Namun tidak semua ajaran agama asli yang dapat terpengaruh oleh kedatangan agama-agama baru tersebut. Salah satu tradisi religi Dayak yang terpengaruh adalah pada tata cara perkawinan yang kemudian dianggap adat dan dapat dilaksanakan oleh suku Dayak yang tidak lagi beragama Hindu Kaharingan dengan meniadakan sebagian dari tata cara perkawinan yang keterkaitan dengan keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju yaitu upacara Manyaki Malas Panganten (pengukuhan perkawinan).
Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari Hakumbang Auh (peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta persyaratan/Jalan Hadat dan perjanjian perkawinan), Mamanggul, Mananggar Janji dan pelaksanaan Upacara Perkawinan, seperti Hasaki Hapalas (pengukuhan/pemberkatan perkawinan menurut tata cara yang sudah diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa menurunkan ajaran-Nya melalui Raja Uju Hakanduang agar melaksanakan ritual perkawinan bagi Raja Garing Hatungku dengan Kamelus Endas Bulau Lisan Tingang serta pada perkawinan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dengan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, yang mana kedua orang ini menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan merupakan cikal bakal manusia pertama. Pertumbuhan dan perkembangan sosial masyarakat Dayak Ngaju menuju tatanan kehidupan yang lebih maju dan modern membawa sejumlah perubahan, termasuk masuknya agama-agama baru ke Kalimantan Tengah yang mengakibatkan masyarakat Dayak beralih keyakinan ke agama-agama baru tersebut  dan meninggalkan keyakinan leluhurnya. Namun dalam kesehariannya masih menjalankankan tradisi leluhurnya karena dianggap sebagai adat istiadat yang harus dijalankan, salah satunya adalah tata cara upacara perkawinan. Dari tata cara perkawinan yang ada kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah tata cara perkawinan itu merupakan adat atau merupakan ajaran agama. Dimana dalam pandangan masyarakat suku Dayak yang masih mempertahankan keyakinan leluhurnya (beragama Hindu Kaharingan) tata cara perkawinan itu adalah ajaran agama bukan adat, sedangkan menurut suku Dayak yang sudah tidak menganut Hindu Kaharingan namun masih menjalankan tata cara perkawinan tersebut menyatakan bahwa itu adalah adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhur suku Dayak Ngaju, sehingga semua suku Dayak Ngaju boleh melaksanakan tata cara perkawinan tersebut. Mengingat tata cara upacara perkawinan sebagai salah satu penuntun moral dan pedoman etika bagi masyarakat etnik Dayak Ngaju, selain sudah cenderung mengalami penyusutan fungsi dan maknanya dalam realitas sosial budaya masyarakat Dayak, juga tidak menutup kemungkinan menuju ambang kepunahan, berbagai upaya pelestarian perlu dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Salah satu ancangan mikro untuk menunjang keberhasilan upaya pelestarian ini adalah mengkaji secara khusus dan mendalam tata cara perkawinan tersebut dalam kajian religi dan adat. Secara dasariah, pengkajian ini bertujuan untuk merekostruksi pemahaman dan pemaknaan tentang tata cara upacara perkawinan dalam aspek adat dan agama. Dengan pemahaman terhadap yang mana bagian tata cara perkawinan yang dapat dianggap adat dan yang mana tata cara perkawinan yang merupakan religi, diharapkan mereka dapat kembali pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan nurani dan ketajaman hati sebagai suatu kelompok masyarakat yang berwatak tenang dan cinta damai sesuai dengan konsep Belum Bahadat (hidup beradat) dan Budaya Rumah Betang. Perkawinan disini disoroti sebagai upacara peralihan dalam rangka agama asli masyarakat etnik Dayak Ngaju, meskipun upacara itu sekarang didampingi unsur-unsur dari luar, tetapi tetapi dianggap sebagai unsur utama dalam acara perayaan perkawinan.

B. Aspek Religi Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 mendefenisikan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Pernikahan disini dipahami sebagai persekutuan seluruh hidup, maka suami istri mempunyai tanggung jawab untuk membina dan mengembangkan hidup bersama. Upacara perkawinan merupakan salah satu bentuk upacara daur hidup dan akan tetap ada pada setiap masyarakat, apalagi sebuah perkawinan bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia lahir batin.
Ritus perkawinan suku Dayak Ngaju bermula dari tradisi lisan yang berakar dari religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu. Dalam ajaran agama Hindu Kaharingan (Religi asli masyarakat Etnik Dayak Ngaju) ritual perkawinan mempunyai nilai religius yang berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu peningkatan nilai bardasarkan hukum agama yang sakral. Menurut konsep Panaturan bahwa perkawinan diharapkan dapat melahirkan keturunan/anak yang dapat menyelamatkan orang tua dan leluhur. Seorang anak jugalah yang nantinya akan melaksanakan upacara Tiwah bagi orang tuanya. Selain itu perkawinan menurut Hindu Kaharingan berlangsung seumur hidup (Nyamah Hentang Tulang  Ije Sandung Mentang) dan tidak seorang pun yang boleh memutuskan tali perkawinan itu kecuali kematian. Hal ini seperti yang dicontohkan pada perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dengan Raja Garing Hatungtu, dimana untuk mas kawinnya Nyai Endas Bulan Lisan Tingang tidak meminta harta benda melainkan Banama Bulau Pahalendang Tanjung Ajung Rabia Pahalingei Lunuk, yang tidak lain adalah berupa sebuah peti mati yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati. Sehingga jika istri yang terlebih dahulu meninggal, maka pada saat upacara Tiwah sang suami lah yang akan menggendong tulang istriya atau sebaliknya. Demikian juga halnya seperti yang dinyatakan dalam Kitab Atharvaveda X. 85. 36 tentang kesetiaan yang harus dimiliki oleh sepasang suami istri sebagai berikut :
Grbhnami te saubhagatvaya
Hastam, maya patya jaradastir yathasah
Artinya :
“Wahai mempelai wanita, kami genggam tanganmu bagi kemakmuran    (kesuburan). Semoga engkau hidup bersama kami sampai akhir kehidupan (akhir hayat). (Veda Sabda Suci, 1996:396)
Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari Hakumbang Auh (peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta persyaratan/Jalan Hadat (jujuran) dan perjanjian perkawinan) dan Pelaksanaan Hasaki Hapalas (Pengukuhan/Pemberkatan Perkawinan menurut tata cara yang sudah diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Unsur religi utama yang terkandung dalam ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju khususnya bagi yang beragama Hindu Kaharingan terdiri dari tiga bagian yaitu : Pelek Sinde Uju, Pelek Handue Uju dan Pelek Hantelu Uju. Dimana Pelek Sinde Uju bermakna bahwa perkawinan dilaksanakan dengan dilandasi keyakinan terhadap Ranying Hatalla/Tuhan yang Maha Esa yang merapakan awal segalanya. Dimana perkawinan akan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan Pelek Indu Sangumang dan Bapa Sangumang. Pada Pelek Sinde Uju inilah kedua mempelai mengucapkan Lima Sarahan (Pengakuan iman umat Hindu kaharingan) serta sumpah janji dihadapan Ranying Hatalla untuk sehidup semati, selalu bersama dalam suka dan duka  Adapun Pelek Handue Uju yaitu bahwa perkawinan dilaksanakan dengan melalui beberapa syarat yang lazim dikenal dengan Jalan Hadat. Dimana Jalan Hadat perkawinan  atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai jujuran adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi pada upacara perkawinan yang berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. Pembayaran jujuran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pelek Hantelu Uju bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan yakni terbentuknya suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera serta harmonis yang dilandasi sradha dan bhakti kepada Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa. Sehingga proses perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju yang menjadi landasan pelaksanaannya adalah agama atau kepercayaan. Seperti yang terdapat dalam  Kitab Panaturan pasal 30 yaitu tentang perkawinan “Kameluh Endas Bulau Lisan Tingang Matuh kabaluma Belum, pada ayat 26 sebagai berikut :
RANYING HATALLA, hemben te mameteh; lalus awi ketun gawi akan Raja Garing Hatungtu, hete ketun mamelek Sinde Uju tuntang AKU kereh atun hadurut manalih gawin te, awi ie hajanji taharep AKU
Artinya :
Pada saat itu RANYING HATALLA berfirman : Laksanakan oleh kalian upacara itu (ritual perkawinan) untuk Raja Garing Hatungku, disana kalian Mamelek Sinde Uju dan nanti AKU akan datang pada upacara itu, karena mereka berdua berjanji dihadapanKu. (Panaturan, 2005 : 109)
Dengan memahami apa yang dijelaskan pada Panaturan pasal 30 ayat 26 di atas, kita dapat mengetahui bahwa dasar pelaksanaan ritual perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah ajaran suci Ranying Hatalla yang termuat dalam Kitab Panaturan. Di Panaturan dijelaskan bahwa pada intinya sumpah janji yang diucapkan oleh kedua mempelai pada ritual perkawinan itu diiringi atau diberkati langsung oleh Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa
Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh umat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju tidak terlepas dari sarana upakara, termasuk juga pada ritual perkawinannya. Sarana upakara ini sarat dengan simbol-simbol yang mempunyai makna bagi yang melaksanakannya. Karena simbol-simbol tersebut dipergunakan agar orang dapat memahami makna dibalik upacara itu. Simbol-simbol tersebut mempunyai nilai religi/sakral yang suci.
Ditinjau dari  pelaksanaannya, ritus perkawinan dikalangan masyarakat etnik Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu :
  1. 1.       Hakumbang Auh
Hakumbang Auh adalah cara awal dari ritus perkawinan dengan maksud penyampaian niat seorang pria kepada seorang gadis yang diinginkan menjadi isterinya. Dalam kebiasaan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda berkehendak mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan menyampaikan maksudnya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka selanjutnya orang tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas menghubungi keluarga si gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga disebut Saruhan atau juga dapat disebut Tatean Tupai. Maksud hati dan keinginannya disampaikan kepada keluarga si gadis melalui perantara tersebut.
Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya, maka pihak pria melalui Uluh Helat menyampaikan mangkok berisi beras dan telor ayam yang dibungkus dengan kain kuning atau sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan tersebut tidaklah diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak pemuda harus menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan melalui perantara tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda tersebut akan dibicarakan dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan mangkok atau Duit Pangumbang yang mereka terima dari keluarga si pemuda. Dalam rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis meminta pendapat keluarga (paman, bibi, kakek, nenek dan saudara). Dalam rapat inilah dibicarakan hal-hal penting mengenai :
  1. Setuju atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka pihak keluarga si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet, bobot si pemuda dan bagimana silsilah keturunan si pemuda, apakah ada keterikatan dengan keluarga si gadis.
  2. Waktu pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.
Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda ditolak, perantara akan dipanggil untuk memberitahukan mengenai keputusan mereka dan alasan penolakan tersebut. Keputusan tersebut tentunya disampaikan secara bijaksana agar tidak menyinggung perasaan pihak keluarga si pemuda. Barang yang sudah diterima sebagai bukti Hakumbang Auh berupa mangkok berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang akan dikembalikan kepada pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya. Apabila maksud baik si pemuda diterima, maka perantaranya diberitahu bahwa pihak keluarga si gadis akan menerima dengan senang hati kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk Mamanggul. Mengenai kapan pihak keluarga si pemuda akan datang Mamanggul akan disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya pula.
  1. 2.      Mamanggul
Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si gadis secara resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima oleh pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa barang sebagai bukti kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul.  Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.


3. Maja Misek
Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja Misek disini maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si gadis. Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :
  1. Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan
  2. Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik menurut Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam keluarga si gadis.
  3. Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan
  4. Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.
  5. Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh salah satu pihak.
Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian Pisek. Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga dibicarakan mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus :
  1. Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum menikah, maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada kakaknya karena ia mendahului kakaknya.
  2. Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam garis kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari si pemuda maka mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara Tambalik Jela sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek (persayatan adat dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada pihak perempuan berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa perlengkapan pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.
  1. 4.      Mananggar Janji atau Mukut Rapin Tuak
Mananggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja Misek telah ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini dibicarakan tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin pria menyerahkan biaya perkawinan, antara lain :
a. Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)
b.Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau Panginan Jandau
c. Jangkut Amak atau perlengkapan tidur dan isi kamar tidur.
Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan dengan cermat agar mendapat hari dan bulan yang baik dan sedapat mungkin menghindari adalah keadaan bulan seperti :
  1. Bulan Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut berarti pada saat permulaan bulan terbit atau bulan  baru muncul.
  2. Bulan Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh
  3. Bulan Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan
  4. Bulan Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)
Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka pihak calon mempelai wanita dapat melakukan persiapan perkawinan, demikian juga halnya dengan pihak mempelai pria.
  1. 5.  Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini adalah upacara-upacara yang dilaksanakan sejak dari rumah penganten pria sampai dengan peresmian perkawinan mereka di rumah penganten wanita. Pada tahap pelaksanaan perkawinan ini upacara yang dilaksanakan adalah :
a. Panganten Haguet
Panganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah penganten wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka pada hari yang telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat, ataupun juga pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum keberangkatan penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan. Pada saat sebelum keberangkatan para kerabat berkumpul di rumah penganten pria. Tujuannya untuk bersama-sama mengantarkan penganten pria ke rumah penganten wanita. Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan acara syukuran. Waktu keberangkatan yang paling baik menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah pagi hari atau sebelum jam dua belas siang.
b. Penganten Mandai       
Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai atau penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten  wanita. Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :
1). Mambuka Lawang Sakepeng
Lawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah daun kelapa yang diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang dipasang bunga warna warni agar indah dan nampak semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk ke halaman rumah sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut. Caranya adalah dengan memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang dipilih mewakili masing-masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong. Ditampilkannya pesilat dari keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam kehidupan rumah tangganya, kedua mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan yang datang sehingga dapat hidup rukun, saling membantu dan bekerjasama. Adapun makna dari upacara mambuka Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua mempelai dalam membina rumah tangga.
2) Mamapas
Mamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar penganten, rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari segala yang tidak baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat yang disebut Pali Endus Dahiang Baya. Bersamaan dengan upacara Mamapas ini, setelah tali perintang Lawang Sakepeng putus maka penganten pria dan rombongannya dipersilahkan memasuki halaman. Di depan pintu rumah mempelai pria akan diupacarai lagi dengan taburan beras dan bunga rampai serta prosesi penginjakan telor ayam. Selanjutnya mempelai laki-laki dan rombongan dipersilahkan masuk rumah. Bagi mereka disediakan tempat khusus untuk beristirahat sambil menunggu acara selanjutnya.
c. Haluang Hapelek
Upacara Haluang Hapelek adalah semacam diaolog antara para wakil dari pihak penganten pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan. Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.
d. Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)
Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasa tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun masih melangsungan tata cara perkawinan sesuai tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang Basir. Manyaki berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai oleh Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan darah. Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil memegang sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang Maha Esa. Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi kepada penguasa alam bawah. Basir melakukan upacara manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban, minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Beras Hambaruan diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumahtangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh rejeki.
Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan secara simbolis, kedua mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.
Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin.
Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai pulalah rangkaian acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman pohon Sawang. Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu kedua mempelai (biasa diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua termasuk para Luang, yang mana acara ini disebut dengan upacara Maningak Panganten.
Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , yaitu :
  1. 1.      Maruah Pali
Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
  1. a.  Melakukan hubungan suami istri
b. Mengadakan perjalanan jauh
Setelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua penganten yaitu ditandai dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai ditampungtawari oleh kedua orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke keluarga wanita.
  1. 2.      Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)
Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.
Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang merupakan bagian dari Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini hanya disebutkan tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja Manantu, maka selesailah rangkaian upacara yang terkait dengan perkawinan.
Urutan tata cara perkawinan yang lengkap seperti di atas adalah tata cara perkawinan yang ideal yang semestinya dilaksanakan oleh umat Hindu Kaharingan karena sudah merupakan ajaran suci Ranying Hatalla yang terdapat dalam kitab suci Panaturan.
C. Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju Dalam Kajian Adat
Ritual perkawinan masyarakat Dayak tidak hanya mengandung nilai-nilai religi tetapi juga mengandung aspek budaya karena kedua hal itu saling keterkaitan erat dan hampir tidak dapat kita bedakan dikarenakan kultur masyarakat Dayak yang unik. Aspek budaya dalam ritual perkawinan ini dapat kita lihat dari beberapa tahapan yang terdapat dalam prosesi perkawinan masyarakat Dayak Ngaju seperti adanya proses Hakumbang Auh dan Maja Misek (memupuh), dimana pada tahapan ini budaya musyawarah untuk mufakat sangat kental terlihat selain itu menjadikan ikatan kekeluargaan semakin erat. Kemudian pada saat hari perkawinan, sebelum mempelai laki-laki memasuki rumah pihak perempuan adanya acara penyambutan berupa berbalas pantun, tari-tarian serta pencak silat daerah Kalimantan Tengah untuk memutus halangan yang berupa Pantan atau yang lazim dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama Lawang Sakepeng  Dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju pelaksanaan upacara perkawinan tidak mudah dan tidak bisa secepatnya untuk mengambil suatu keputusan, tetapi harus dimusyawarahakan oleh keluarga besar, karena keluarga juga merupakan penentu dalam pengambilan keputusan. Semua yang menyangkut tahapan dan persyaratan perkawinan  akan disesuaikan dengan aturan adat agar semua proses pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencana keluarga. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Dayak Ngaju, adalah perkawinan dengan sistem meminang karena mempunyai rangkaian yang sangat panjang.  Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat  atau kebiasaan. Selain itu jika kita melihat pemahaman masa lalu masyarakat Dayak sebelum masuknya agama-agama ke  tanah Dayak, maka kata adat dipahami sebagai sebuah tradisi leluhurnya sebagai adat yang adi luhung sebagai penjaga keharmonisan hidup yang harus dilaksanakan atau sebagai sebuah keyakinan. Sehingga sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini dapat kita lihat dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang telah beralih keyakinan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut. Dari kenyataan di lapangan kita bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang keterkaitan dengan ritus perkawinan suku Dayak Ngaju yang bermula dari tradisi religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh,mamanggul atau  Maja Misek ,pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek, yang merupakan acara menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita juga dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin yang dilanjutkan dengan upacara Tampung Tawar (Pemercikan air/tirta). Sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai), yang merupakan inti upacara perkawinan sebagai upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun pemberkatan atau pengukuhannya dilaksanakan menurut tata cara agama yang dianutnya.
Prosesi makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Yang dilanjutkan dengan kedua mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat. Yang dilanjutkan dengan prosesi penanaman pohon Sawang (Ponjon Andong). Beberapa urutan acara tersebut tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Selain itu prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , seperti Maruah Pali juga tidak dilaksanakan. Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
  1. Melakukan hubungan suami istri
  2. Mengadakan perjalanan jauh
Yang dilaksanaan hanya pada prosesi upacara Pakaja Manantu. Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.
Beberapa bagian yang dihilangkan tersebutlah yang membedakan antara tata cara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang berasal dari tradisi asli agama Helu atau Kaharingan yang dilaksanakan oleh umat Hindu kaharingan dengan tata cara perkawinan yang dianggap adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak menganut agama Hindu Kaharingan lagi.
D. Penutup
Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat  atau kebiasaan. Namun sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur masyarakat Dayak yang merupakan milik seluruh warga Dayak yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini berlaku dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang beralih keyainan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, mereka masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut. Namun dari tata cara  upacara perkawinan yang berlangsung tersebut kita masih bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang merupakan unsur religi  yang keterkaitan agama Hindu Kaharingan dan dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh, Mamanggul atau  Maja Misek , Pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek tetap dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian, sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Pengesahan perkawinan dalam Hindu Kaharingan ) sampai penanaman pohon Sawang janji tidak dilakukan oleh yang non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Daftar Pustaka
Agan, Thian, 1998, Buku Upacara Perkawinan Umat Hindu Kaharingan. Palangka Raya. Majelis Besar Agama Hindu kaharingan Pusat Palangka Raya.
Ilon, Y. Nathan. 1990. Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia Dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Badan Kearsipan Daerah Kalimantan Tengah.
Riwut, Tjilik .2003, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Disunting oleh Nila Riwut. Yogyakarta, Pusakalima.
Tim penyusun, 2003, Panaturan, Palangka Raya, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya
Tim penyusun, 1974, Undang-Udang Perkawinan No. II Tahun 1974.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita. Surabaya
Tim Penyusun. 1998. Ritus dan Peralatan Perkawinan Pada Suku Dayak Ngaju Kalimanatan Tengah. Depdikbud Kanwil  Bagian Proyek Permuseuman Prop. Kalteng. Palangka Raya.