Jumat, 24 Mei 2013

UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT SUKU DAYAK NGAJU DALAM KAJIAN AGAMA DAN ADAT



1.  Pendahuluan
Upacara-upacara tradisional di Kalimantan Tengah merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan dari Tattwa yang merupakan inti dari pada ajaran agama Hindu Kaharingan (tradisi religi asli masyarakat Dayak) dengan susila yang merupakan aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Unsur tattwa, etika dan upacara merupakan unsur universal ajaran agama Hindu Kaharingan yang terkandung dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Dayak, yang mana antara unsur yang satu dengan yang lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu dan simultan serta tidak terpisahkan.
Masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama Hindu Kaharingan sangat kaya dengan upacara-upacara keagamaan antara lain seperti tata cara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju yang disebut “Pelek Rujin Pangawin. Ritual upacara perkawinan merupakan salah satu ritual keagamaan sekaligus dianggap adat yang mencirikan keberadaan suku Dayak Ngaju sebagai suatu kelompok masyarakat adat. Hal ini dikarenakan ritual perkawinan ini tidak lagi hanya dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang beragama Hindu Kaharingan saja, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak lagi memeluk agama Hindu Kaharingan.
Sejak masuknya agama Kristen yang datang bersamaan dengan penjajahan Belanda, banyak warga Dayak Ngaju yang awalnya beragama Kaharingan dibaptis menjadi pemeluk agama Kristen. Sejalan dengan itu, banyak tradisi dalam religi asli masyarakat Dayak mengalami perubahan dan pergeseran karena diresapi pengaruh ajaran kristen. Pengaruh migrasi penduduk, perkawinan silang, pergaulan lintas budaya dan masuknya beberapa agama besar lainnya seperti Hindu dan Islam masuk juga mempengaruhi. Namun tidak semua ajaran agama asli yang dapat terpengaruh oleh kedatangan agama-agama baru tersebut. Salah satu tradisi religi Dayak yang terpengaruh adalah pada tata cara perkawinan yang kemudian dianggap adat dan dapat dilaksanakan oleh suku Dayak yang tidak lagi beragama Hindu Kaharingan dengan meniadakan sebagian dari tata cara perkawinan yang keterkaitan dengan keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju yaitu upacara Manyaki Malas Panganten (pengukuhan perkawinan).
Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari Hakumbang Auh (peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta persyaratan/Jalan Hadat dan perjanjian perkawinan), Mamanggul, Mananggar Janji dan pelaksanaan Upacara Perkawinan, seperti Hasaki Hapalas (pengukuhan/pemberkatan perkawinan menurut tata cara yang sudah diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa menurunkan ajaran-Nya melalui Raja Uju Hakanduang agar melaksanakan ritual perkawinan bagi Raja Garing Hatungku dengan Kamelus Endas Bulau Lisan Tingang serta pada perkawinan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dengan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, yang mana kedua orang ini menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan merupakan cikal bakal manusia pertama. Pertumbuhan dan perkembangan sosial masyarakat Dayak Ngaju menuju tatanan kehidupan yang lebih maju dan modern membawa sejumlah perubahan, termasuk masuknya agama-agama baru ke Kalimantan Tengah yang mengakibatkan masyarakat Dayak beralih keyakinan ke agama-agama baru tersebut  dan meninggalkan keyakinan leluhurnya. Namun dalam kesehariannya masih menjalankankan tradisi leluhurnya karena dianggap sebagai adat istiadat yang harus dijalankan, salah satunya adalah tata cara upacara perkawinan. Dari tata cara perkawinan yang ada kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah tata cara perkawinan itu merupakan adat atau merupakan ajaran agama. Dimana dalam pandangan masyarakat suku Dayak yang masih mempertahankan keyakinan leluhurnya (beragama Hindu Kaharingan) tata cara perkawinan itu adalah ajaran agama bukan adat, sedangkan menurut suku Dayak yang sudah tidak menganut Hindu Kaharingan namun masih menjalankan tata cara perkawinan tersebut menyatakan bahwa itu adalah adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhur suku Dayak Ngaju, sehingga semua suku Dayak Ngaju boleh melaksanakan tata cara perkawinan tersebut. Mengingat tata cara upacara perkawinan sebagai salah satu penuntun moral dan pedoman etika bagi masyarakat etnik Dayak Ngaju, selain sudah cenderung mengalami penyusutan fungsi dan maknanya dalam realitas sosial budaya masyarakat Dayak, juga tidak menutup kemungkinan menuju ambang kepunahan, berbagai upaya pelestarian perlu dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Salah satu ancangan mikro untuk menunjang keberhasilan upaya pelestarian ini adalah mengkaji secara khusus dan mendalam tata cara perkawinan tersebut dalam kajian religi dan adat. Secara dasariah, pengkajian ini bertujuan untuk merekostruksi pemahaman dan pemaknaan tentang tata cara upacara perkawinan dalam aspek adat dan agama. Dengan pemahaman terhadap yang mana bagian tata cara perkawinan yang dapat dianggap adat dan yang mana tata cara perkawinan yang merupakan religi, diharapkan mereka dapat kembali pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan nurani dan ketajaman hati sebagai suatu kelompok masyarakat yang berwatak tenang dan cinta damai sesuai dengan konsep Belum Bahadat (hidup beradat) dan Budaya Rumah Betang. Perkawinan disini disoroti sebagai upacara peralihan dalam rangka agama asli masyarakat etnik Dayak Ngaju, meskipun upacara itu sekarang didampingi unsur-unsur dari luar, tetapi tetapi dianggap sebagai unsur utama dalam acara perayaan perkawinan.

B. Aspek Religi Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 mendefenisikan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Pernikahan disini dipahami sebagai persekutuan seluruh hidup, maka suami istri mempunyai tanggung jawab untuk membina dan mengembangkan hidup bersama. Upacara perkawinan merupakan salah satu bentuk upacara daur hidup dan akan tetap ada pada setiap masyarakat, apalagi sebuah perkawinan bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia lahir batin.
Ritus perkawinan suku Dayak Ngaju bermula dari tradisi lisan yang berakar dari religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu. Dalam ajaran agama Hindu Kaharingan (Religi asli masyarakat Etnik Dayak Ngaju) ritual perkawinan mempunyai nilai religius yang berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu peningkatan nilai bardasarkan hukum agama yang sakral. Menurut konsep Panaturan bahwa perkawinan diharapkan dapat melahirkan keturunan/anak yang dapat menyelamatkan orang tua dan leluhur. Seorang anak jugalah yang nantinya akan melaksanakan upacara Tiwah bagi orang tuanya. Selain itu perkawinan menurut Hindu Kaharingan berlangsung seumur hidup (Nyamah Hentang Tulang  Ije Sandung Mentang) dan tidak seorang pun yang boleh memutuskan tali perkawinan itu kecuali kematian. Hal ini seperti yang dicontohkan pada perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dengan Raja Garing Hatungtu, dimana untuk mas kawinnya Nyai Endas Bulan Lisan Tingang tidak meminta harta benda melainkan Banama Bulau Pahalendang Tanjung Ajung Rabia Pahalingei Lunuk, yang tidak lain adalah berupa sebuah peti mati yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati. Sehingga jika istri yang terlebih dahulu meninggal, maka pada saat upacara Tiwah sang suami lah yang akan menggendong tulang istriya atau sebaliknya. Demikian juga halnya seperti yang dinyatakan dalam Kitab Atharvaveda X. 85. 36 tentang kesetiaan yang harus dimiliki oleh sepasang suami istri sebagai berikut :
Grbhnami te saubhagatvaya
Hastam, maya patya jaradastir yathasah
Artinya :
“Wahai mempelai wanita, kami genggam tanganmu bagi kemakmuran    (kesuburan). Semoga engkau hidup bersama kami sampai akhir kehidupan (akhir hayat). (Veda Sabda Suci, 1996:396)
Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari Hakumbang Auh (peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta persyaratan/Jalan Hadat (jujuran) dan perjanjian perkawinan) dan Pelaksanaan Hasaki Hapalas (Pengukuhan/Pemberkatan Perkawinan menurut tata cara yang sudah diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Unsur religi utama yang terkandung dalam ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju khususnya bagi yang beragama Hindu Kaharingan terdiri dari tiga bagian yaitu : Pelek Sinde Uju, Pelek Handue Uju dan Pelek Hantelu Uju. Dimana Pelek Sinde Uju bermakna bahwa perkawinan dilaksanakan dengan dilandasi keyakinan terhadap Ranying Hatalla/Tuhan yang Maha Esa yang merapakan awal segalanya. Dimana perkawinan akan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan Pelek Indu Sangumang dan Bapa Sangumang. Pada Pelek Sinde Uju inilah kedua mempelai mengucapkan Lima Sarahan (Pengakuan iman umat Hindu kaharingan) serta sumpah janji dihadapan Ranying Hatalla untuk sehidup semati, selalu bersama dalam suka dan duka  Adapun Pelek Handue Uju yaitu bahwa perkawinan dilaksanakan dengan melalui beberapa syarat yang lazim dikenal dengan Jalan Hadat. Dimana Jalan Hadat perkawinan  atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai jujuran adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi pada upacara perkawinan yang berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. Pembayaran jujuran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pelek Hantelu Uju bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan yakni terbentuknya suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera serta harmonis yang dilandasi sradha dan bhakti kepada Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa. Sehingga proses perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju yang menjadi landasan pelaksanaannya adalah agama atau kepercayaan. Seperti yang terdapat dalam  Kitab Panaturan pasal 30 yaitu tentang perkawinan “Kameluh Endas Bulau Lisan Tingang Matuh kabaluma Belum, pada ayat 26 sebagai berikut :
RANYING HATALLA, hemben te mameteh; lalus awi ketun gawi akan Raja Garing Hatungtu, hete ketun mamelek Sinde Uju tuntang AKU kereh atun hadurut manalih gawin te, awi ie hajanji taharep AKU
Artinya :
Pada saat itu RANYING HATALLA berfirman : Laksanakan oleh kalian upacara itu (ritual perkawinan) untuk Raja Garing Hatungku, disana kalian Mamelek Sinde Uju dan nanti AKU akan datang pada upacara itu, karena mereka berdua berjanji dihadapanKu. (Panaturan, 2005 : 109)
Dengan memahami apa yang dijelaskan pada Panaturan pasal 30 ayat 26 di atas, kita dapat mengetahui bahwa dasar pelaksanaan ritual perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah ajaran suci Ranying Hatalla yang termuat dalam Kitab Panaturan. Di Panaturan dijelaskan bahwa pada intinya sumpah janji yang diucapkan oleh kedua mempelai pada ritual perkawinan itu diiringi atau diberkati langsung oleh Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa
Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh umat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju tidak terlepas dari sarana upakara, termasuk juga pada ritual perkawinannya. Sarana upakara ini sarat dengan simbol-simbol yang mempunyai makna bagi yang melaksanakannya. Karena simbol-simbol tersebut dipergunakan agar orang dapat memahami makna dibalik upacara itu. Simbol-simbol tersebut mempunyai nilai religi/sakral yang suci.
Ditinjau dari  pelaksanaannya, ritus perkawinan dikalangan masyarakat etnik Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu :
  1. 1.       Hakumbang Auh
Hakumbang Auh adalah cara awal dari ritus perkawinan dengan maksud penyampaian niat seorang pria kepada seorang gadis yang diinginkan menjadi isterinya. Dalam kebiasaan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda berkehendak mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan menyampaikan maksudnya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka selanjutnya orang tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas menghubungi keluarga si gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga disebut Saruhan atau juga dapat disebut Tatean Tupai. Maksud hati dan keinginannya disampaikan kepada keluarga si gadis melalui perantara tersebut.
Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya, maka pihak pria melalui Uluh Helat menyampaikan mangkok berisi beras dan telor ayam yang dibungkus dengan kain kuning atau sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan tersebut tidaklah diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak pemuda harus menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan melalui perantara tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda tersebut akan dibicarakan dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan mangkok atau Duit Pangumbang yang mereka terima dari keluarga si pemuda. Dalam rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis meminta pendapat keluarga (paman, bibi, kakek, nenek dan saudara). Dalam rapat inilah dibicarakan hal-hal penting mengenai :
  1. Setuju atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka pihak keluarga si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet, bobot si pemuda dan bagimana silsilah keturunan si pemuda, apakah ada keterikatan dengan keluarga si gadis.
  2. Waktu pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.
Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda ditolak, perantara akan dipanggil untuk memberitahukan mengenai keputusan mereka dan alasan penolakan tersebut. Keputusan tersebut tentunya disampaikan secara bijaksana agar tidak menyinggung perasaan pihak keluarga si pemuda. Barang yang sudah diterima sebagai bukti Hakumbang Auh berupa mangkok berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang akan dikembalikan kepada pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya. Apabila maksud baik si pemuda diterima, maka perantaranya diberitahu bahwa pihak keluarga si gadis akan menerima dengan senang hati kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk Mamanggul. Mengenai kapan pihak keluarga si pemuda akan datang Mamanggul akan disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya pula.
  1. 2.      Mamanggul
Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si gadis secara resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima oleh pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa barang sebagai bukti kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul.  Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.


3. Maja Misek
Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja Misek disini maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si gadis. Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :
  1. Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan
  2. Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik menurut Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam keluarga si gadis.
  3. Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan
  4. Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.
  5. Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh salah satu pihak.
Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian Pisek. Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga dibicarakan mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus :
  1. Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum menikah, maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada kakaknya karena ia mendahului kakaknya.
  2. Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam garis kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari si pemuda maka mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara Tambalik Jela sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek (persayatan adat dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada pihak perempuan berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa perlengkapan pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.
  1. 4.      Mananggar Janji atau Mukut Rapin Tuak
Mananggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja Misek telah ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini dibicarakan tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin pria menyerahkan biaya perkawinan, antara lain :
a. Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)
b.Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau Panginan Jandau
c. Jangkut Amak atau perlengkapan tidur dan isi kamar tidur.
Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan dengan cermat agar mendapat hari dan bulan yang baik dan sedapat mungkin menghindari adalah keadaan bulan seperti :
  1. Bulan Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut berarti pada saat permulaan bulan terbit atau bulan  baru muncul.
  2. Bulan Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh
  3. Bulan Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan
  4. Bulan Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)
Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka pihak calon mempelai wanita dapat melakukan persiapan perkawinan, demikian juga halnya dengan pihak mempelai pria.
  1. 5.  Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini adalah upacara-upacara yang dilaksanakan sejak dari rumah penganten pria sampai dengan peresmian perkawinan mereka di rumah penganten wanita. Pada tahap pelaksanaan perkawinan ini upacara yang dilaksanakan adalah :
a. Panganten Haguet
Panganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah penganten wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka pada hari yang telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat, ataupun juga pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum keberangkatan penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan. Pada saat sebelum keberangkatan para kerabat berkumpul di rumah penganten pria. Tujuannya untuk bersama-sama mengantarkan penganten pria ke rumah penganten wanita. Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan acara syukuran. Waktu keberangkatan yang paling baik menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah pagi hari atau sebelum jam dua belas siang.
b. Penganten Mandai       
Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai atau penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten  wanita. Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :
1). Mambuka Lawang Sakepeng
Lawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah daun kelapa yang diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang dipasang bunga warna warni agar indah dan nampak semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk ke halaman rumah sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut. Caranya adalah dengan memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang dipilih mewakili masing-masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong. Ditampilkannya pesilat dari keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam kehidupan rumah tangganya, kedua mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan yang datang sehingga dapat hidup rukun, saling membantu dan bekerjasama. Adapun makna dari upacara mambuka Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua mempelai dalam membina rumah tangga.
2) Mamapas
Mamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar penganten, rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari segala yang tidak baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat yang disebut Pali Endus Dahiang Baya. Bersamaan dengan upacara Mamapas ini, setelah tali perintang Lawang Sakepeng putus maka penganten pria dan rombongannya dipersilahkan memasuki halaman. Di depan pintu rumah mempelai pria akan diupacarai lagi dengan taburan beras dan bunga rampai serta prosesi penginjakan telor ayam. Selanjutnya mempelai laki-laki dan rombongan dipersilahkan masuk rumah. Bagi mereka disediakan tempat khusus untuk beristirahat sambil menunggu acara selanjutnya.
c. Haluang Hapelek
Upacara Haluang Hapelek adalah semacam diaolog antara para wakil dari pihak penganten pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan. Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.
d. Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)
Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasa tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun masih melangsungan tata cara perkawinan sesuai tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang Basir. Manyaki berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai oleh Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan darah. Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil memegang sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang Maha Esa. Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi kepada penguasa alam bawah. Basir melakukan upacara manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban, minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Beras Hambaruan diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumahtangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh rejeki.
Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan secara simbolis, kedua mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.
Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin.
Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai pulalah rangkaian acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman pohon Sawang. Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu kedua mempelai (biasa diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua termasuk para Luang, yang mana acara ini disebut dengan upacara Maningak Panganten.
Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , yaitu :
  1. 1.      Maruah Pali
Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
  1. a.  Melakukan hubungan suami istri
b. Mengadakan perjalanan jauh
Setelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua penganten yaitu ditandai dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai ditampungtawari oleh kedua orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke keluarga wanita.
  1. 2.      Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)
Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.
Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang merupakan bagian dari Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini hanya disebutkan tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja Manantu, maka selesailah rangkaian upacara yang terkait dengan perkawinan.
Urutan tata cara perkawinan yang lengkap seperti di atas adalah tata cara perkawinan yang ideal yang semestinya dilaksanakan oleh umat Hindu Kaharingan karena sudah merupakan ajaran suci Ranying Hatalla yang terdapat dalam kitab suci Panaturan.
C. Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju Dalam Kajian Adat
Ritual perkawinan masyarakat Dayak tidak hanya mengandung nilai-nilai religi tetapi juga mengandung aspek budaya karena kedua hal itu saling keterkaitan erat dan hampir tidak dapat kita bedakan dikarenakan kultur masyarakat Dayak yang unik. Aspek budaya dalam ritual perkawinan ini dapat kita lihat dari beberapa tahapan yang terdapat dalam prosesi perkawinan masyarakat Dayak Ngaju seperti adanya proses Hakumbang Auh dan Maja Misek (memupuh), dimana pada tahapan ini budaya musyawarah untuk mufakat sangat kental terlihat selain itu menjadikan ikatan kekeluargaan semakin erat. Kemudian pada saat hari perkawinan, sebelum mempelai laki-laki memasuki rumah pihak perempuan adanya acara penyambutan berupa berbalas pantun, tari-tarian serta pencak silat daerah Kalimantan Tengah untuk memutus halangan yang berupa Pantan atau yang lazim dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama Lawang Sakepeng  Dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju pelaksanaan upacara perkawinan tidak mudah dan tidak bisa secepatnya untuk mengambil suatu keputusan, tetapi harus dimusyawarahakan oleh keluarga besar, karena keluarga juga merupakan penentu dalam pengambilan keputusan. Semua yang menyangkut tahapan dan persyaratan perkawinan  akan disesuaikan dengan aturan adat agar semua proses pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencana keluarga. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Dayak Ngaju, adalah perkawinan dengan sistem meminang karena mempunyai rangkaian yang sangat panjang.  Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat  atau kebiasaan. Selain itu jika kita melihat pemahaman masa lalu masyarakat Dayak sebelum masuknya agama-agama ke  tanah Dayak, maka kata adat dipahami sebagai sebuah tradisi leluhurnya sebagai adat yang adi luhung sebagai penjaga keharmonisan hidup yang harus dilaksanakan atau sebagai sebuah keyakinan. Sehingga sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini dapat kita lihat dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang telah beralih keyakinan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut. Dari kenyataan di lapangan kita bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang keterkaitan dengan ritus perkawinan suku Dayak Ngaju yang bermula dari tradisi religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh,mamanggul atau  Maja Misek ,pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek, yang merupakan acara menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita juga dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin yang dilanjutkan dengan upacara Tampung Tawar (Pemercikan air/tirta). Sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai), yang merupakan inti upacara perkawinan sebagai upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun pemberkatan atau pengukuhannya dilaksanakan menurut tata cara agama yang dianutnya.
Prosesi makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Yang dilanjutkan dengan kedua mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat. Yang dilanjutkan dengan prosesi penanaman pohon Sawang (Ponjon Andong). Beberapa urutan acara tersebut tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Selain itu prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , seperti Maruah Pali juga tidak dilaksanakan. Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
  1. Melakukan hubungan suami istri
  2. Mengadakan perjalanan jauh
Yang dilaksanaan hanya pada prosesi upacara Pakaja Manantu. Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.
Beberapa bagian yang dihilangkan tersebutlah yang membedakan antara tata cara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang berasal dari tradisi asli agama Helu atau Kaharingan yang dilaksanakan oleh umat Hindu kaharingan dengan tata cara perkawinan yang dianggap adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak menganut agama Hindu Kaharingan lagi.
D. Penutup
Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat  atau kebiasaan. Namun sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur masyarakat Dayak yang merupakan milik seluruh warga Dayak yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini berlaku dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang beralih keyainan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, mereka masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut. Namun dari tata cara  upacara perkawinan yang berlangsung tersebut kita masih bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang merupakan unsur religi  yang keterkaitan agama Hindu Kaharingan dan dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh, Mamanggul atau  Maja Misek , Pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek tetap dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian, sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Pengesahan perkawinan dalam Hindu Kaharingan ) sampai penanaman pohon Sawang janji tidak dilakukan oleh yang non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Daftar Pustaka
Agan, Thian, 1998, Buku Upacara Perkawinan Umat Hindu Kaharingan. Palangka Raya. Majelis Besar Agama Hindu kaharingan Pusat Palangka Raya.
Ilon, Y. Nathan. 1990. Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia Dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Badan Kearsipan Daerah Kalimantan Tengah.
Riwut, Tjilik .2003, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Disunting oleh Nila Riwut. Yogyakarta, Pusakalima.
Tim penyusun, 2003, Panaturan, Palangka Raya, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya
Tim penyusun, 1974, Undang-Udang Perkawinan No. II Tahun 1974.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita. Surabaya
Tim Penyusun. 1998. Ritus dan Peralatan Perkawinan Pada Suku Dayak Ngaju Kalimanatan Tengah. Depdikbud Kanwil  Bagian Proyek Permuseuman Prop. Kalteng. Palangka Raya.

1 komentar: