Rabu, 23 Oktober 2013

TABE SALAMAT LINGU NALATAI, SALAM SUJUD KARENDEM MALEMPANG"
"ADIL KA' TALINO, BACURAMIN KA' SARUGA, BASENGAT KA' JUBATA".

"MAMUT MENTENG UREH UTUSKU ISEN MULANG JETE PENYANGKU".
Sebuah tulisan yang kami sajikan dengan judul “Adat Mangkok Merah dan Pamabakng” adalah sebuah judul yang sengaja kami angkat dari permukaan, karena adat mangkok merah dan pamabakng telah di kenal oleh masyarakat luas diluar etnis Dayak terutama dalam gerakan meyeluruh masayarakat Dayak takala penumpasan gerakan Paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.
 Demikian pula adat Pamabakang yang cukup dikenal karena telah beberapa kali diberlakukan terutama dalam upaya perdamayan akibat kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan tragedy berdarah di markas Armet Nagabang beberapa tahun yang lalu. Walupun Adat ini sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat luas, namun adat ini perlu diangkat dalam suatu tulisan demi untuk persamaan presepsi tentang adat itu karena selama ini mungkin terdapat perbedaan presepsi dikalangan masayarakat luas bahkan dikalangan masayarakat Dayak sendiri.

Kedua jenis adat ini mempunyai keunikan tersendiri ibarat dua sisi yang bersebaranagan namaun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Mangkok Merah adalah adat yang bersifat sakral dan memaksa untuk mengarahkan masa demi tujuan tertentu sementara pamabakng adalah adat yang bersipat sakral yang harus dipatuhi dalam upaya perdamaian akibat adanya suatu komplik berdarah.

Dengan demikian selain bersebrangan dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat, kedua adat ini fungsinya seolah-olah bertentangan. Terlepas dari pendapat pro dan kontra secara esensi adat ini perlu dipertahankan dan di lesatarikan, namun apakah ia masih tetap dipertahankan dan dilestarikan, namun apakah ia masih tetap ditaati dan di patuhi terutama di era globalisasi yang serba moderen ini.


ADAT MANGKOK MERAH
Berdasarkan jenis alat peraganya, pada mulanya adat ini bernama mangkok jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwrana merah. Getah akar jaranang ini di pergunakan sebagai penganti warna cat merah karena pada waktu itu orang belum mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah ini dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam.

Oleh karena itu ia disebut mangkok merah. Pada jaman dahulu apabila dalam suatu kasus pihak pelaku tidak bersedia di selesaikan secara adat maka pihak ahli waris korban yang merasa dihina dan dilecehkan kehormatan, harkat dan martabatnya atas kesepakatan dan musyawarah ahli waris segera melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut adat mangkok merah. Kasus tersebut biasanya mangkuk menyangkut kasus parakng- bunuh ataupun kasus pelecehan seksual dan lain sebagainya yang sifatnya mengarah kepada pelecehan dan penghinaan terhadap ahli waris.  


Alat Peraga dan Maknanya
Alat paraga mangkok merah terdiri dari :

  • Sebuah mangkuk sebagi tempat/sarana untuk meletakkan alat paraga lainnya. 
  • Dasar mangkuk bagian dalam dioles dengan getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian “ Pertumpahan darah “.
  • Bulu/sayap ayam yang mengandung pengertian “ Cepat “, segera, kilat, seperti terbang”.
  • Tabur atap daun ( ujung atap yang terbuat dari daun rumbia) mengandung pengertian bahwa yang membawa berita itu tidak boleh terhambat oleh hujan karena ada terinak ( payung ).
  • Longkot api ( bara kayu api baker yang sudah di pakai untuk memasak di dapur ) yang mempunyai pengertian bahwa yang membawa berita tidak boleh terhambat oleh petang/gelap malam hari, karena sudah disedikan penerangan api colok dsb.
Alat para mangkok merah dikemas dalam mangkok yang telah diberi warna merah jaranang kemudian di bungkus dengan kain. Beberapa orang yang di tunjuk utnuk menyampaikan berita sekaligus mengajak seluruh jajaran ahli waris itu sebelumnya di berikan arahan mengenai maksud dan tujuan mangkok merah itu, siapa saja yang harus ditemui, kapan berkumpul, tempat berkumpul dan lain sebagainya. Tentu saja mereka yang membawa berita mangkok merah tersebut tidak boleh menginap bahkan singah terlalu lamapun tidak boleh. Walau hujan lebat dan petang gelap sekalipun mereka harus meneruskan perjalanannya.

Seperti yang diuraikan dalam pendahuluan, bahwa yang melatar belakangi terjadinya adat mangkok merah itu karena akibat adanya suatu yang tidak mau diselasaikan secara adat oleh pelakunya sehingga dianggap telah menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Damai kehormatan,harakat dan maratabat ahli waris sehingga mereka mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan ahli waris melalui adat mangkok merah. Misalnya seorang yang mati terbunuh apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat maka pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan suatu upaya pembelasan, karena perbuatan sipelaku di anggap telah menentang pihak ahli waris korban dan ia pantas dihajar sebagai binatang karena tidak beradat. Selanjutnya digelarlah adat mangkok mereah seperti yang telah di jelaskan di atas.

Sebagai mana di jelaskan di atas bahwa gerakan mangkok merah muncul untuk membela kehormatan, harkat dan martabat ahli waris yang telah dihina dan dilecehkan. Dengan demikian tentu saja gerakan ini menjadi tangung jawab ahli waris. Menurut masyarakat adat Dayak Kanayatn susunan/turunan page waris samdiatn itu dapat digambarkan menurut garis lurus yaitu : 
  1. Saudara Sekandung ( tatak pusat ) disebut samadiatn. 
  2. Sepupu satu kali ( sakadiritan ) di sebut kamar kapala. 
  3. Sepupu dua kali ( dua madi’ ene’ ) di sebut waris. 
  4. Sepupu tiga kali ( dua madi’ ene’ saket ) di sebut waris. 
  5. Sepupu empat kali ( saket ) di sebut waris. 
  6. Sepupu lima kali ( duduk dantar ) di sebut waris. 
  7. Sepupu enam kali ( dantar ) di sebut waris. 
  8. Sepupu tujuh kali ( dantar page ) di sebut waris. 
  9. Sepupu delepan kali ( page ) masih tergolong waris. 
  10. Sepupu sembilan kali, dah baurangan tidak tergolong waris.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang mulai disebut waris adalah pada turunan sepupu tiga kali atau dua madi’ene’, sehinga mereka yang termasuk dalam turunan ini di anggap sebagai kepala waris atau waris kuat. Merekalah yang berhak memimpin gerakan ini sifatnya mangkok mereah.

Sebagai mana telah di jelaskan dalam pendahuluan maka sifat-sifat yang terkandung didalam adat mengkok merah tersebut adalah :
  1. Seluruh acara pelaksanaan adat mangkok merah dari mulai bermusyawarah/mufakat hinga pemberangkatan bala, sarat prilaku-prilaku mistik relegius, oleh karena itu adat bersifat sakral. 
  2. Pihak ahli waris yang dituju atau yang menerima berita mengkok merah demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan ahli waris mereka harus ikut. Apabila mereka tidak ikut, mereka dapat dicap sebagai pengecut dan tidak menaruh rasa malu. Dengan demikaian mereka terpaksa harus ikut. Jadi dalam adat mangkok merah terdapat sifat mengikat atau memaksa.
Menelusuri proses pelaksanaan adat mangkok mereah, ternyata bahwa pelkasanan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah selauruh jajaran ahli waris korban di pimpin oleh ahli waris dua madi’ ene’ sebagai kepala waris. Sedangkan sasarannya adalah pihak pelaku yang tidak bersedia membayar hukuman adat senhinga di anggap telah melecahkan dan menghina pihak ahli waris korban. Apabila bala telah bernagkat menuju sasaran hampir tidak ada alternatif lain untuk pencegahan, kecuali dengan upaya adat dimana pihak pelaku harus memasang adat pamabang.

ADAT PAMABAKNG

Sebagai mana telah diuraikan diatas bahwa adat mangkok merah dan adat pamabang ibarat dua sisi yang berseberangan dan mengandung makna yang bertentangan namun keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat. Telah diuraikan pula pelaksanaan adat mangkok merah mempunyai dampak yang sangat negatif, akan tetapi sebagai alat ia sangat tergantung kepada pemakaiyannya. Dengan demikian ia dapat pula berdampak positif, misalnya penggunaan adat mangkok merah pada saat pemumpasan paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.

Alat Peraga
Sementara itu adat pamabankng mempunyai dampat yang sangat positip mengupayakan penyelasaian komplik sejarah damai. Bala yang akan menyerag setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera memeberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng, dengan alat paraganya sebagai berikut 
  • 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng banbu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup. 
  • Kemudian ada pelantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng ( tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah. 
  • 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tampayan jampa. 
  • Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar. 
  • Disekitar pamabang terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang. 
  • Tempayan jamba melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunauhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku. 
  • Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian. 
  • Beras banyu sebagai simbol perampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi. 
  • Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh temenggung dan jika temenggung tidak ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat orang yang menunggu pemabankng haruslah orang yang bijaksana dan biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sanga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain masksudnya agar saran serta naseihat dsb. Dapat dipakai oleh pihak bala yang sedang emosi.

Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabankng dapat di pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap dilangar, masih adalagi pamabnag lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabang terakhir inipun di langar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raganyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di tempat pamabang, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentakangkan arti dan makana pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu pihak bala melampisan emosinya dengan menikamkan senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah : 
  • Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan : 
  1. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris. 
  2. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat. 
  3. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang. 
  • Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan : 
  1. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat 
  2. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu dan selanjutnya dilakukan persembanhan kepada jubata. Pamabakng teteap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.


Tulisan ini pernah di posting Bapak Yohanes Supriyadi di http://www.akademidayak.com

Selasa, 22 Oktober 2013

LAPORAN PENELUSURAN SEJARAH PERJANJIAN DAMAI DAYAK DI DESA TUMBANG ANOI part 3


Tumbang Anoi menjadi tempat perdamaian sebelu abad 19 upaya-upaya perdamaian itu memang saudah mulai dilakukan oleh beberapa pihak. Rapat atau Pumpung di Tumbang Anoi memang di prakarsai oleh Belanda, dan dipilih desa tersebut mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah, sehingga para undangan dari segala daerah dapat dengan mudah datang. Nama-nama yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu tokoh-tokoh yang dipercayai oleh masyarakat, sebagaimana catatan Damang Pijar, kepala adat Kahayan Hulu, ialah sebagai berikut:
1.Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin
2.Kapten Christofel dari Kuala Kapuas
3.Letnan Arnold dari Kuala Kapuas
4.Raden Johannes Bangas dari Kuala Kapuas
5.Jaksa Sahabu dari Kuala Kapuas
6.Tamanggung Dese dari Kuala Kapuas
7.Juragan Tumbang dari Kuala Kapuas
8.Suta Nagara, Telang—sungai Mahakam (Kaltim)
9.Tamanggung Jaya Karti, Tamiang Layang
10.Tamanggung Sura, Buntok
11.Mangku Sari, Tumbang (Muara) Teweh
12.Tamanggung Surapati, Siang
13.Tamanggung Awan, Saripoi
14.Tamanggung Udan, Nyarung Uhing
15.Jaga Beruk, Tumbang Kunyi
16.Raden Sahidar, Tumbang Jelay
17.H. Bamin, Tumbang Jelay
18.Tamanggung Hadangan, Tumabang Likoi
19.Tamanggung Lenjung, Tumbang Lahei
20.H. Bahir, Tumbang Lahung
21.H. Halip, Tumbang Lahung
22.Bang Ijuk, Batu Salak—Sungai Mahakam (KalTim)
23.kimpoig Irang, Batu salak
24.Bang Lawing, Batu salak
25.Taman Lasak, Tumbang Pahangei
26.Juk Bang, Tumbang Pahangei
27.Juk Lai, Tumbang Pahangei
28.H. Burit, Samarinda
29.Taman Jejet, Long Iram
30.Taman Kuling, Kenyahulu
31.Hang Lasan, Tumbang Nawang
32.Barau Lulung, Tumbang Pahangei
33.Damang Ujang, Pujon—Sungai Kapuas (KalTeng)
34.Tamanggung Tukei, Tumabang Bukoi
35.Damang Suling, Tumbang Tihis
36.Damang Jungan, Tumaban Bukoi
37.Damang Pilip, Tumbang Rujak
38.Temanggung Tewung, Tumbang Sirat
39.Damang Antis, Taran
40.Jaga Ajun, Tumbang Tampang
41.Tamanggung Jahit, Danau Tarung
42.Tamanggung Tiung, Tumbang Tarang
43.Siang Irang, Bulau Ngandung
44.Raden Timbang, Tumbang Tihis
45.Damang Rahu, Tumbang Tihis
46.Damang Rambang, Pangkoh—sungai Kahayan (KalTim)
47.Singa Rawe, Petak Bahandang
48.Ngabeh Suka, Pahandut
49.Tamanggung lawak, Bukit Rawi
50.Jaga Kamis, Bawan
51.Damang Sawang, Pahawan
52.Tundan, Guha
53.Dambung Tahunjung, Sepang Simin
54.Dambung Turung, Tuyun
55.Jaga Saki, Luwuk Sungkai
56.Kiai Nusa, Tumbang Hakau
57.Singa Laju, Hurung Bunut
58.Singa Mantir, Teweng Pajangan
59.Raden Binti, Tampang
60.Mangku Tarung, Tampang
61.Tamanggung Tuwan, Kuala Kurun
62.Singa Raujan, Kuala Kurun
63.Ngabe Hanjung, Tumbang Manyangan
64.Damang Murai, Tewah
65.Dambung Nyaring, Tewah
66.Singa Mantir, Kasintu
67.Singa Antang, Batu Nyiwuh
68.Tamanggung Tawa, Tumbang Habaon
69.Tembak, Tumbang Hanbaon
70.Damang Sangkurun, Tumbang Sarangan
71.Damang Kacu, Datah Pacan
72.Dambung Odong, Tumbang Miri
73.Mangku Saman, Tumbang Marikoi
74.Singa Saing, Tumbang Marikoi
75.Bahau, Tumbang Marikoi
76.Singa Ringin, Tumbang Maraya
77.Mangku Rambung, Lawang Kanji
78.Akin, Lawang Kanji
79.Mangku Rambung, Tumbang Rambangun
80.Damang Batu, Tumbang Anoi
81.Dambung Karati, Tumbang Anoi
82.Dambung Sanduh, Lawang Dahorang
83.Singa Dohong, Tumbang Mahorai
84.Raden Pulang, Tumbang Mahorai
85.Dambung Saiman, Sungai Hurus, Sungai Hamputung
86.Singa Kating, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
87.Jaga Jalan, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
88.Tamanggung Paron, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
89.Damang Kawi, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
90.Tamanggung Pandung, Tumbang Musang, Sungai Miri
91.Damang Teweh, Tumbang Pikot, Sungai Miri
92.Damang Patak, Tumbang Hujanoi, Sungai Miri
93.Mangku Turung, Mangkuhung, Sungai Miri
94.Dambung Besin, Tumbang Manyei, Sungai Miri
95.Singa Tukan, Tumbang Masukih, Sungai Miri
96.Singa Dengen, Harueu, Sungai Miri
97.Damang Jinan, Tumbang Manyoi, Sungai Miri
98.Damang Singa Rangan, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan, dan Manuhing
99.Singa Ringka, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan dan Manuhing
100.Damang Bakal, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
101.Tamanggung Hening, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
102.Damang Anggen, Katingan—Sungai Katingan
103.Damang Sindi, Lahang, Sungai Katingan
104.Dambung Rahu, Talunei, Sungai Katingan
105.Damang Bundan, Tumbang Sanamang, Sungai Katingan
106.Raden Runjang, Tumbang Panei, Sungai Katingan
107.Dambung Panganen, Tumbang Panei, Sungai Katingan
108.Raden Tinggi, Balai Behe, Sungai Sanamang
109.Tamanggung Penyang, Tumbang Bemban, Sungai Sanamang
110.Tamanggung Rangka, Tumbang Sanamang, Sungai Sanamang
111.Tamanggung Tumbun, Rantau Pulut, Sungai Seruyan
112.Damang Jungan, Tumbang Kalanti, Sungai Kalang
113.Singa Antang Kalang, Tumbang Gagu, Sungai Kalang
114.Tamanggung Johan, Tumbang Manggu, sungai Samba
115.Damang Awat, Tumbang Basain, sungai Samba
116.Tamanggung Bahe, Rantau Tapang, Sungai Samba
117.Raden Maung, Tumbang Hangei, Sungai Samba
118.Tamanggung Luhing, Tumbang Atei, Sungai Samba
119.Condrohur, Tumbang Jinuh—(KalBar)
120.H. Mansyur, Tumbang Jinuh
121.Tamanggung Bungai, Tumbang Ela
122.Marta Jani, Nasa Jinuh
123.Kiai Saleh, Manukung
124.Raden Adong, Manukung
125.Raden Paku, Manukung
126.H.Mas Maruden, Sakasa
127.Raden Lang Laut, Sarawai—Sungai Sarawai (Kalimanan Utara)
128.Raden Bundung, Tuntama, Sungai Serawai
129.Raden-Singa Luwu, Malakan, Sungai Serawai
130.Raden Damang Bewe, Mantonai, Sungai Serawai
131.Tamanggung Singa Nagara, Tumbang Nyangai, Sungai Serawai
132.Tamanggung Mangan, Batu Saban, Sungai Serawai
133.Tamanggung Tingai, Punan Mandalan, Sungai Serawai
134.Tam Juhan, Tumbang karamei, Sungai Serawai
135.Tam Dulah, Tumbang Balimbing, Sungai Serawai
136.Tam Sarang, Mondai, Sungai Serawai
 
Sumber :
- Catatan dari almarhum Damang Nyaring yang dicatatnya dari almarhum Lahing Tabias, dan dicatat kembali oleh almarhum Pendeta A.R. Nyaring, desa Tampang, seorang cucu Damang Batu: Tentang riwayat Damang Batu, Beteng, dan Perdamaian.
 
- Catatan Yakup Sawung, S.H, 1972 : Tentang nama-nama peserta rapat perdamaian (catatan penyunting : sebagian tercantum dalam catatan yang diperoleh W.A.Gara)
 
- Catatan almarhum Damang A. Pijar, Tumbang Mahurai mengenai nama-nama peserta rapat damai.
 
- Damang Salilah, AGAMA KAHARINGAN : SUSUN GAWI TIWAH SAMPAI BALAKU UNTUNG, LBSB UNPAR, Palangkaraya, 1977, h.116-118
 
- Prof.Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. 1990
 
- Prof. KMA M. Usop, M.A, ADAT ISTIADAT DAERAH KALIMANTAN TENGAH, Universitas Palangkaraya, PNPKD DPK, 1977/1978
 
- Bahan-bahan yang dihimpun oleh Panitia Pemugaran Makam Damang Batu di desa Tumbang Anoi, kecamatan Kahayan Hulu Utara, Kabupaten Kapuas, 1989/1990